HUKUM WARIS
A. AYAT-AYAT
WARIS
ALLAH SWT berfirman :
"Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua
orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. SesungguhnyaAllah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11)
"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari
harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para
istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi
mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun." (an-Nisa': 12)
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang
kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu):
jika seorang meningal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki
dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (an-Nisa': 176)
Penjelasan
Allah SWT melalui ketiga ayat tersebut --yang
kesemuanya termaktub dalam surat an-Nisa'-- menegaskan dan merinci nashih
(bagian) setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Ayat-ayat tersebut
juga dengan gamblang menjelaskan dan merinci syarat-syarat serta keadaan orang
yang berhak mendapatkan warisan dan orang-orang yang tidak berhak
mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskan keadaan setiap ahli waris, kapan
ia menerima bagiannya secara "tertentu", dan kapan pula ia
menerimanya secara 'ashabah.
Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut
merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan dan tata cara yang
berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Oleh sebab itu, orang
yang dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih mudah
mengetahui bagian setiap ahli waris, sekaligus mengenali hikmah Allah Yang Maha
Bijaksana itu.
Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan
hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia
menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh
kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan
keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka,
menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya
pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa
ketiga ayat tersebut merupakan salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk
ayat-ayat Ilahi. Oleh karenanya faraid memiliki martabat yang sangat agung,
hingga kedudukannya menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits
berikut, dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Pelajarilah
Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan
ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal,
dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua
orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima),
namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan
tersebut. " (HR Daruquthni)
Lebih jauh Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila
kita telah mengetahui hakikat ilmu ini, maka betapa tinggi dan agung penguasaan
para sahabat tentang masalah faraid ini. Sungguh mengagumkan pandangan mereka
mengenai ilmu waris ini. Meskipun demikian, sangat disayangkan kebanyakan
manusia (terutama pada masa kini) mengabaikan dan melecehkannya.
Perlu kita ketahui bahwa semua kitab tentang waris
yang disusun dan ditulis oleh para ulama merupakan penjelasan dan penjabaran
dari apa yang terkandung dalam ketiga ayat tersebut. Yakni penjabaran kandungan
ayat yang bagi kita sudah sangat jelas: membagi dan adil. Maha Suci Allah Yang
Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum dan syariat-Nya.
Di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam
hati, adakah ayat lain yang berkenaan dengan waris selain dari ketiga ayat
tersebut?
Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang
menyebutkan masalah hak waris bagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang
besar-kecilnya hak waris yang mesti diterima mereka tidak dijelaskan secara
rinci. Di antaranya adalah firman Allah berikut:
"Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan.
" (an-Nisa': 7)
"...
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
"...
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan
orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada
saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam
Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)
Itulah ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan
masalah hak waris, selain dari ketiga ayat yang saya sebutkan pada awal
pembahasan.
Pada ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab:
6) ditegaskan bahwa kerabat pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan
bagian dibandingkan lainnya yang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali
kekerabatan dengannya. Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan
kaum Muhajirin.
Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam,
bahwa pada masa itu kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan
hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti
kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum
Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang
senasab tidak mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam
menjadi agama yang kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan
ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah begitu mengakar dalam hati
setiap muslim. Maka setelah peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah
me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan
persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan kekerabatan.
Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT
dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis
manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan
rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan
hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya
memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang
besar, laki-laki ataupun wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang
banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak
waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab.
Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum
muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat
tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak
waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut
mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya
nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).
Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada
di antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum laki-laki
dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih banyak
membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan
bantuan baik moril maupun materiil?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan
beberapa hikmah adanya syariat yang telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di
antaranya sebagai berikut:
- Kaum wanita selalu harus
terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita
wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja
yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
- Kaum wanita tidak diwajibkan
memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah
yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan
kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah
dari kerabatnya.
- Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki
jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum
laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak
dibandingkan kaum wanita.
- Kaum laki-laki diwajibkan untuk
membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya,
memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia
berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan papan.
- Kebutuhan pendidikan anak,
pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan
hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang
terkandung dalam perbedaan pembagian antara kaum laki-laki --dua kali lebih
besar-- dan kaum wanita. Kalau saja tidak karena rasa takut membosankan, ingin
sekali saya sebutkan hikmah-hikmah tersebut sebanyak mungkin. Secara logika,
siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar --hingga harus mengeluarkan
pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan
bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum Islam telah menetapkan bahwa
bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada bagian kaum wanita,
Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat dan keutamaannya, berupa
memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa yang digambarkan. Dengan
demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru lebih banyak mengenyam
kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita
sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum laki-laki, namun mereka
tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah keluarga.
Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak memiliki
kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk
membelanjakan harta miliknya meski sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau
keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini
tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan.
Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan
keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
"...
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf
..." (al-Baqarah: 233)
Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu
saya ketengahkan satu contoh kasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan
hukum-hukum-Nya akan terasa lebih jelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini
ialah tentang pembagian hak kaum laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari
bagian kaum wanita.
Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu
laki-laki dan satu perempuan. Ternyata orang tersebut meninggalkan harta,
misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka, menurut ketetapan syariat Islam, laki-laki
mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak perempuan mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila anak laki-laki tersebut telah dewasa dan layak
untuk menikah, maka ia berkewajiban untuk membayar mahar dan semua keperluan
pesta pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan semua pembiayaan keperluan pesta
pernikahan itu sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian, uang yang ia terima dari
warisan orang tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban
tanggung jawab memberi nafkah istrinya.
Adapun anak perempuan, apabila ia telah dewasa dan
layak untuk berumah tangga, dialah yang mendapatkan mahar dari calon suaminya.
Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp 1 juta. Maka anak perempuan itu telah
memiliki uang sebanyak Rp 2 juta (satu juta dari harta warisan dan satu juta
lagi dari mahar pemberian calon suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia
tidak dibebani tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan nafkah rumah tangganya,
sekalipun ia memiliki harta yang banyak dan hidup dalam kemewahan. Sebab dalam
Islam kaum laki-lakilah yang berkewajiban memberi nafkah istrinya, baik berupa
sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan anak perempuan semakin
bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.
Dalam keadaan seperti ini manakah di antara kaum
laki-laki dan kaum wanita yang lebih banyak menikmati harta dan lebih
berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah wanita? Inilah logika keadilan dalam
agama, sehingga pembagian hak laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada hak
kaum wanita.
B.
WARIS DALAM PANDANGAN
ISLAM
SYARIAT Islam menetapkan aturan waris dengan
bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan
harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang
legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang
sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan
nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail
hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang
pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab
terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu,
paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama
hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang
diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an
yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang
legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak
penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
C. DEFINISI WARIS
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk
mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya
menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain',
atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas
hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan
non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula
sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)"... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang
dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta
(uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan
fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang)
atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang
yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya
bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan
pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang
berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran
kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada
kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan
harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan
pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak
wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain
kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat
peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini
ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan
keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih
dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan
kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang
bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan
Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau
belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan
pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya
tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat
wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta
peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan
hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika
seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu
ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin
dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun
kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia
tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan
kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT.
Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya bila sebelumnya mayit tidak
berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit
berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli
waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal
tersebut sama saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama,
hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah
mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena
itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun
tidak.
Bahkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal
tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama
hamba. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan
Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan
menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya
saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan
dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah. Sementara itu, ulama mazhab
Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah.
Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan
pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.
3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah
sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat
tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes
dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat
pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai
keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga
dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan
kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda
Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada
waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke
baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu
banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan
kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga
meminta-minta kepada orang."
4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada
para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para
ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul
furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah,
istri, suami, dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang
berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima
bagian).
D.
BENTUK-BENTUK WARIS
- Hak waris secara fardh (yang
telah ditentukan bagiannya).
- Hak waris secara 'ashabah
(kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
- Hak waris secara tambahan.
- Hak waris secara pertalian
rahim.
E.
SEBAB-SEBAB ADANYA HAK WARIS
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan
hak waris:
- Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab),
seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
- Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah
secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun
belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.
Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan
hak waris.
- Al-Wala, yaitu kekerabatan karena
sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi
penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka
dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa
kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan
budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai
manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi
terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris
yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali
pernikahan.
F.
RUKUN WARIS
Rukun waris ada tiga:
- Pewaris, yakni orang yang meninggal
dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
- Ahli waris, yaitu mereka yang berhak
untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya
ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
- Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau
kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan
sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar