Jumat, 01 Mei 2015

Makalah tentang Masyarakat Madani

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Ironis sekali jika melihat kondisi Pemerintahan Indonesia saat ini. Negara yang notabene religius ternyata menyimpan berbagai masalah dalam hal etika dan moral. Korupsi, hanya merupakan salah satu contoh dari penyimpangan moral yang terjadi di Indonesia belakangan ini, korupsi seakan-akan telah melembaga di dalam masyarakat serta sudah menjadi suatu rahasia umum. Bahkan bagi para pejabat, korupsi seperti menjadi kewajiban, dan justru dianggap menyimpang kalau tidak melakukannya. Apalagi membahas tentang perumusan kebijakan, akhir-akhir ini telah kita dengar istilah “Pasal Pesanan” yang sangat tidak mencerminkan etika pemerintahan yang baik. Konsep Good Governance yang ditawarkan oleh system demokrasi untuk menjadi sebuah solusi terbaik nampaknya hanya merupakan janji manis yang ditawarkan pada awal masa kampanye saja.
 Namun prakteknya di lapangan, demokrasi dijalankan hanya oleh para elit politik dan
kurang menyentuh keterlibatan masyarakat secara luas. Akibatnya akuntabilitas, responsibilitas dan responsivitas pemerintah hanya berputar-putar dikalangan elite politic saja, tidak kepada masyarakat.  Konsep “Masyarakat Madani” yang sering digunakan oleh negara-negara Eropa Timur, memiliki pandangan lain tentang masyarakat dan pemerintah.
 Konsep Masyarakat Madani  selalu berangkat dari permasalahan dan sekaligus konsep tentang individu. Sehingga kalau individunya baik sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat madani, maka masyarakatnya akan baik pula.tidak hanya itu saja,  Masyarakat Madani  lebih memfokuskan pada masyarakat, pada konsep dan praktek citizenship atau kewarganegaraan-seolah lepas dari prebutan kekuasaan politik.
Maka berdasarkan konsep Masyarakat Madani tersebut, untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik perlu adanya sinergitas diantara empat bagian, yaitu community (masyarakat), government (pemerintah), business (usaha perekonomian atau pengusaha), dan
voluntary (organisasi/gerakan kedermawanan atau LSM). Masing-masing bagian berporos
pada satu wadah berupa individual, bertanggungjawab untuk menemukan nilai-nilai yang  berbeda dalam rangka “The search for the good life” (menemukan kehidupan yang baik)
Akhir-akhir ini sering muncul ungkapan dari sebahagian pejabat pemerintah, politisi, cendekiawan, dan tokoh-tokoh masyarakat tentang masyarakat madani (sebagai terjemahan dari kata civil society). Tanpaknya, semua potensi bangsa Indonesia dipersiapkan dan diberdayakan untuk menuju masyarakat madani yang merupakan cita- cita   dari bangsa ini.Masyarakat madani diprediski sebagai masyarakat  yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama. Demikian pula, bangsa Indonesia pada era reformasi ini diarahkan  untuk menuju masyarakat madani, untuk itu kehidupan manusia Indonesia akan mengalami perubahan yang fundamental yang tentu akan berbeda dengan kehidupan masayakat pada era orde baru. Kenapa, karena dalam masyarakat madani yang dicita-citakan, dikatakan akan memungkinkan "terwujudnya kemandirian masyarakat, terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan [pluraliseme]" , serta taqwa, jujur, dan taat hukum.
Konsep  masyarakat  madani  merupakan  tuntutan  baru  yang  memerlukan berbagai torobosan di  dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan. Dengan kata lain, dalam menghadapi perubahan masyarakat dan zaman, “diperlukan suatu paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Karena menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan  menggunakan paradigma  lama,  maka  segala  usaha  yang  dijalankan  akan
memenuhi kegagalan".
Terobosan pemikiran kembali konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam menuju masyarakat madani sangat diperlukan, karena "pendidikan sarana terbaik yang didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya                perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan         manusia. Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka masalah yang perlu dicermati dalam pembahasan ini adalah bagaimanakah pendidikan Islam didisain menuju masyarakat madani Indonesia.



1.2  RUMUSAAN MASALAH
A.     Apakah yang dimaksud dengan masyarakat madani ?
B.      Bagaimanakah konsepsi masyarakat madani dalam pandangan islam ?
C.      Bagaimanakah sejarah masyarakat madani ?
D.     Apakah faktor yang melatarbelakangi munculnya masyarakat madani ?
E.       Bagaimanakah karakteristik dan ciri ciri masyarakat madani ?
F.        Apakah instansi yang merupakan institusi penegak masyarakat madani ?
G.      Bagaimanakah kondisi-kondisi kondusif yang perlu diciptakan untuk terwujudnya masyarakat madani ?
H.     Bagaimanakurangan dari konsep kah Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani ?
I.       Bagaimanakah kelebihan dan kelemahan konsep masyarakat madani ?
J.       Bagaimana Membangun Masyarakat Indonesia Menjadi Masyarakat Madani ?
K.    Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani ?

1.3  TUJUAN PEMBAHASAN
1.      Memenuhi tugas yang diberikan pada mata kuliah Pengantar Agama Islam  Universitas Negeri Semarang
2        Menelaah masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada saat ini khususnya yang berhubungan dengan konsep masyarakat madani
3        Membantu dalam membahas dan menyelesaikan masalah kehidupan yang dihadapi pada saat ini
BAB 2
PEMBAHASAN

A.    Pengertian masyarakat madani menurut pendapat beberapa ahli
Menurut Zbigniew Rau (dengan kajian kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet)
Masyarakat madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara. Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan negara diekspresikan dengan ciri-ciri individualisme, pasar dan pluralism.
Menurut Han Sung Jao (dengan latar belakang Korea Selatan) Masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendali kan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.
Menurut Kim Sunhyuk (dengan latar belakang Korea Selatan) Masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari repro duksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
            Menurut Anwar Ibrahim (Indonesia) Masyarakat madani adalah suatu sistem sosial yang subur yang diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparancy sistem.
            Menurut Prof. Naquib Al-Attas (Malaysia) Masyarakat madani merupakan konsep masyarakat ideal yang mengandung dua komponen besar yanitu masyarakat lota dan masyarakat yang beradab. Konsep ini banyak diikuti oleh cendekiawan Indonesia seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, dan Azyumardi Azra. Pada prinsipnya masyarakat madani adalah sebuah tatanan komunitas masyarakat yang mengedepankan toleransi, demokrasi, dan berkeadaban serta menghargai adanya pluralisme (kemajemukan).
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah [masyarakat agama dan masyarakat madani] memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota peradaban", yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad. Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern.


Menurut M. Dawam Rahadjo Masyarakat madani Ruang partisipasi masyarakat, dalam perkumpulan-perkumpulan sukarela, media massa, perkumpulan profesi, serikat buruh tani,  keagamaan.
Menurut Nurcholis Madjid, konsepsi Perkataan madinah menujuk kepada semangat dan pengertian civil society, yang berarti masyarakat sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk negara yang baik.
Jadi, dapat disimpulkan bahw Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan maasyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi penciptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

B.     Konsepsi masyarakat madani menurut pandangan islam
              Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis
ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim
modern.
              Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond,
2003: 278).
              Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya. Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas
landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84). Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).

Konsep masyarakat madani itu lahir sebagai hasil dari Festival Islam yang dinamai Festival Istiqlal, suatu festival yang selenggarakan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam yang didirikan pada Desember 1991 dengan restu dari Presiden Soeharto dan diketuai oleh BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yang menduduki jabatan Menteri Riset dan Teknologi. Berdirinya ICMI tidak lepas dari peranan Habibie yang berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk mengakomodasi kepentingan golongan menengah Muslim yang sedang berkembang pesat dan memerlukan sarana untuk menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut karena Soeharto sedang mencari partner dari golongan Muslim agar mendukung keinginannya menjadi presiden pada tahun 1998. Hal ini dilakukan Soeharto untuk mengurangi tekanan pengaruh dari mereka yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama dari kalangan nasionalis yang mendirikan berbagai LSM dan kelompok Islam yang menempuh jalur sosio-kultural seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri.
Mereka mengembangkan gerakan prodemokrasi dengan memperkenalkan konsep civil society atau masyarakat sipil. Konsep ini ditawarkan sebagai kaunter terhadap hegemoni negara yang begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, dan para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan untuk mengkaunter dominasi ABRI sebagai penyangga utama eksistensi Orde Baru. ABRI tidak hanya memerankan sebagai unsur pertahanan dan keamanan saja tetapi juga mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI menjustifikasi tindakannya pada doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut memerankan tugas-tugas sipil baik dalam lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keterlibatannya dalam politik sangat menentukan. Akibatnya check and balance dalam sistem pemerintahan tidak berjalan dan Orde Baru menjelma menjadi regim yang bersifat bureaucratic authoritarian (Arif Rohman, 52).
Konsep masyarakat madani berkembang belakangan sebagai padanan dari masyarakat sipil. Istilah masyarakat madani yang diperkenalkan kalangan Islam politik menjadi lebih populer karena didukung oleh Soeharto yang ingin melakukan perubahan politik secara hati-hati dengan mengurangi keterlibatan ABRI dalam jabatan sipil atas desakan negara-negara donor dengan berakhirnya perang dingin pada tahun 1989. Bagi regim Orde Baru, istilah masyarakat madani lebih netral karena tidak seperti halnya konsep civil society yang ingin mendesak ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan sebagaimana yang terjadi di USA.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie, yang juga ketua umum ICMI, sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madani karena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu komite dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi.

            Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus sebagai akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Like all other vocabularies with a political edge, their meaning is neither self-evident nor unprejudiced (Curtin, 2002: 1).
            Perumusan dan pengembangan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan ukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian yang terdapat dalam khazanah sejarah masa awal Islam (Hamim, 2000: 115-127). Kemudian para cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil society yang lahir di Barat dengan masyarakat madani, suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.
Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat idel produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society. Tentunya penggunaan konsep masyarakat madani dilakukan setelah teruji validitasnya  berdasarkan landasan normatif (nass) dari sumber primer Islam (al-Qur’an dan Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence).
Perbedaan antara civil society dengan masyarakat madani
Sebenarnya antara civil society dan masyarakat terdapat beberapa perbedaan yang mendasar, namun masyarakat sendiri sering menganggap bahwa kedua istilah tersebut adalah mengandung arti yang sama. Perbedaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
Civil Society
Masyarakat Madani
      Lahir dari proses sekularisasi, sebagai protes terhadap rezim-rezim penindas atau otoriter / revolusi prancis
      Lahir dari landasan, motivasi dan etos keagamaan
      Menekankan pada aspek politik dan perlindungan hukum sesuai dengan tradisi Barat
      Menekankan pada aspek etika
      Civil Society vis a vis state
      Masyarakat Madani vis a vis Masyarakat Badawi/terbelakang.
      Bersifat non military
      Bersifat menjunjung tinggi peradaban, budaya.

C.    Sejarah masyarakat madani

Apabila dicari akar sejarahnya, maka dapat dilihat bahwa dalam masyarakat Yunani Kuno masalah ini sudah mengemuka. Rahardjo (1997) menyatakan bahwa istilah civil society sudah ada sejak zaman sebelum Masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil society ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani kuno. Civil society menurut Cicero ialah suatu komunitas memiliki kode hokum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka kota dipahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan.
Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society, juga berdasarkan
 pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun, dan konsep Al Madinah al fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada abad pertengahan (Rahardjo seperti yang dikutip Nurhadi, 1999).
Menurut Dr. Ahmad Hatta, peneliti pada Lembaga Pengembangan Pesantren dan Studi Islam, Al Haramain, Piagam Madinah adalah dokumen penting yang membuktikan betapa sangat majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan penegasan mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, dengan menyitir pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958), Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights), atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1776), Revolusi Prancis (1789), dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan. Secara formal, Piagam Madinah mengatur hubungan sosial antar komponen masyarakat. Pertama, antarsesama muslim, bahkan sesame muslim adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan nonsmuslim didasarkan pada prinsip bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan menghormati kebebasan beragama.
Ada dua nilai dasar yang tertuang dalam Piagam Madinah. Pertama, prinsip
kesederajatan dan keadilan, kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip itu lalu dijabarkan, dan ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai universal, seperti konsistensi, keseimbangan, moderat, dan toleran. Sementara itu konsep masyarakat madani, atau dalam khazanah Barat dikenal sebagai civil society (masyarakat sipil), muncul pada masa Pencerahan (Renaissance) di Eropa melalui pemikiran John Locke (abad ke-18) dan Emmanuel Kant (abad ke -19). Sebagai sebuah konsep, civil society berasal dari proses sejarah panjang masyarakat Barat yang biasanya dipersandingkan dengan konsepsi tentang state (Negara). Dalam tradisi Eropa abad ke-18, pengertian masyarakat sipil ini dianggap sama dengan negara (the state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi kelompok lain.
Barulah pada paruh kedua abad ke-18, terminology ini mengalami pergeseran makna. Negara dan masyarakat madani kemudian dimengerti sebagai dua buah entitas yang berbeda. Bahkan kemudian, Kant menempatkan masyarakat madani dan negara dalam kedudukan yang berlawanan, yang kemudian dikembangkan oleh Hegel, menurutnya masyarakat madani merupakan subordinatif dari negara. Di Indonesia, perjuangan masyarakat madani dimulai pada awal pergerakan kebangsaan, dipelopori oleh Syarikat Islam (1912), dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999). Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif, baik dari rezim Orde Lama maupun rezim Orde Baru. Tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi.


D.    Faktor yang melatar belakangi munculnya masyarakat madani

a. Adanya penguasa politik yang cenderung mendominasi (menguasai) masyarakat dalam segala bidang agar patuh dan taat pada penguasa. Tidak adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Adanya monopoli dan pemuastan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat, karena secara esensial masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah.

b. Masyarakat diasumsikan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan yang baik (bodoh) dibandingkan dengan penguasa (pemerintah). Warga negara tidak memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya. Sementara, demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakatyang berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya.tanpa mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasyarat demokrasi ini banyak dikemukakan oleh pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi (demokratis) di sini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan dan ekonomi.


c. Adanya usaha membatasi ruang gerak dari masyarakat dalam kehidupan politik. Keadaan ini sangat menyulitkan bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat, karena pada ruang politik yang bebaslah individu berada dalam posisi yang setara, dan akan mampu melakukan transaksitransaksi politik tanpa ada kekhawatiran.


E.     Karakteristik serta ciri ciri masyarakat madani
Ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani, yaitu :
1.      Diakuinya semangat pluralisme.
Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan, sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Pluralismebertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya kreativitas, yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah perbedaan yang kosmopolit akan tercipta manakala manusia memiliki sikap inklusif, dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan, identitas sejati atas parameter parameter otentik agama tetap terjaga.

2.      Tingginya sikap toleransi.
Baik terhadap saudara sesame agama maupun terhadap umat agama lain. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar, dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak semata mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun, juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup berdampingan, dan saling menghormati satu sama lain.

3. Tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekedar kebebasan dan persaingan, demokrasi adalah pula suatu pilihan untuk bersama-sama membangun, dan memperjuangkan perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahteran. Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan kepada Tuhan yang tinggi, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak dan moral yang baik, mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, dan menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik, dan lembaga masyarakat.



            Karakteristik Umum tatanan masyarakat madani, sebagaimana yang tersirat dalam Piagam Madinah (AZIZAH, 2009), maka dapat ditemukan dalam 10 prinsip pembangunan masyaraakat yaitu:
1. Kebebasan agama.
2. Persaudaran seagama dan keharusan untuk menanamkan sikap solidaritas yang  
    tinggi terhadap sesama.
3. Persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama.
4. Saling membantu dan semua orang punya kedudukan yang sama sebagai anggota
    masyarakat.
5. Persamaan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara.
6. Persamaan di depan hukum bagi setiap warga negara.
7. Penegakan hukum.
8. Memberlakukan hukum adat yang tetap berpedoman pada keadilan dan kebenaran.
9. Perdamaian.
10. Pengakuan hak atas setiap orang/individu


Ciri – ciri masyarakat madani :

1.      Free public sphere
      Yaitu adanya ruang publik yang bebas dalam mengemukakan pendapat. Individu     
      dapat mengemukakan pendapat tanpa kekhawatiran
2.      Demokratis
Yaitu dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki keebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam interaksi dengan lingkungannya tanpa mempertimbangkan suku, ras, dan agama
3.      Toleran
Yaitu adanya sikap saling menghargai dan saling menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain, menghargai perbedaa-perbedaan pandangan politik maupun perbedaan sikap social
4.      Pluralisme
Yaitu adanya sikap tulus untuk menerima kemajemukan, menghargai perbedaan
5.      Keadilan social
Yaitu adanya keseimbangan pembagian hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak ada monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat

Pendapat Nurcholis Madjid
Menurutnya ada beberapa ciri mendasar dari masyarakat madani yan dibangun Nabi Muhammad SAW :
1.      Egalitarianisme (persamaan derajat)
2.      Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya)
3.      Keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat
4.      Penegakkan hukum dan keadilan
5.      Toleransi dan keadilan
6.      Musyawarah


F.     Institusi penegak masyarakat madani

Institusi (lembaga) masyarakat madani adalah institusi (lembaga) yang dibentuk atas dasar  motivasi dan kesadaran penuh dari diri individu  kelompok,  dan masyarakat tanpa ada instruksi (perintah), baik yang bersifat resmi (formal) dari pemerintah (negara) maupun dari individu, kelompok, dan masyarakat tertentu.

Landasan pembentukan lembaga ini adalah idealisme perubahan ke arah kehidupan yang independent dan mandiri. Artinya, bahwa lembaga ini merupakan manifestasi (perwujudan) dari pemberdayaan masyarakat yang memiliki pengetahuan, kesadaran, disiplin, dan kedewasaan berpikir, yang bertujuan memberi perlindungan bagi diri, kelompok, masyarakat, dan bangsa yang tidak berdaya dari penguasaan (dominasi) pemerintah atau negara.

Sifat atau karakteristik lembaga (institusi) masyarakat madani adalah :

1.      Independen  adalah  bahwa  lembaga  ini  memiliki  sifat  yang  bebas  (netral)  dari intervensi lembaga lain, baik lembaga pemerintah maupun nonpemerintah.
2.      Mandiri, yaitu bahwa lembaga ini memiliki kemampuan dan kekuatan untuk melaksanakan tugas dan fungsi lembaga, dengan tidak melibatkan pihak lain di luar institusi.
3.   Swaorganisasi,  yaitu  bahwa  pengelolaan  dan  pengendalian  institusi  (lembaga)
dilakukan secara swadaya oleh SDM lembaga.
4.   Transparan, yaitu bahwa dalam pengelolaan dan pengendalian institusi (lembaga)
dilakukan secara terbuka.
5.   Idealis,  yaitu  bahwa pengelolaan  dan  pengendalian,  serta  pelaksanaan  institusi (lembaga) diselenggarakan dengan nilai-nilai yang jujur, ikhlas, dan ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat banyak.
6.   Demokratis, yaitu institusi (lembaga) yang dibentuk, dikelola, serta dikendalikan dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri.
7.   Disiplin, yaitu bahwa institusi (lembaga) dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus taat dan setia terhadap segenap peraturan perundangan yang berlaku.

Bentuk institusi (lembaga) masyarakat madani dapat diklasifikasi dalam tiga macam, yaitu :

1. Institusi (lembaga) Sosial, seperti :

a.   Lembaga sosial
b.   Masyarakat (LSM) dan partai politik
c.   Organisasi kepemudaan, seperti KNPI, HMI, PMII, KAMMI
d.   Organisasi kemahasiswaan
e.   Organisasi profesi, seperti LBH, IAI, PWI, HTI
f.   Organisasi kemasyarakatan, seperti MKGR, Kosgoro, SOKSI, dan lainlain

2. Institusi (lembaga) Keagamaan

Institusi ini adalah institusi (lembaga) yang dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat, untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian programprogram bagi pengembangan keagamaan.

Bentuk institusi ini meliputi, antara lain :

a.   Institusi  (lembaga)  keagamaan  dalam  Islam,  seperti  NU,  Muhammadiyah, MUI, dan lain-lain
b.   Institusi (lembaga) keagamaan Kristen, seperti PGI
c.   Institusi (lembaga) keagamaan Budha, seperti Walubi
d.   Institusi (lembaga) keagamaan Hindu, seperti Parisada Hindu Darma.
e.   Institusi (lembaga) Katholik, seperti KWI

3. Institusi (lembaga) Paguyuban

Institusi ini adalah institusi (lembaga) yang dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian programprogram bagi peningkatan kekerabatan/kekeluarganaan, yang berdasarkan daerah atau suku bangsa

yang   sama.   Bentuk   institusi   ini   meliputi,   antara   lain;   himpunan   paguyuban masyarakat Jember, Batak Karo, Sulawesi, Puwokerta, Bima, Wonogiri, Sunda, Betawi, dan lain-lain.

4. Pers
Pers dapat mengkritisi dan menjadi bagian social control yang dapat menganalisis serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga Negara

5.   Supremasi hokum
Setiap warga anegara baik yang duduk dalam pemerintahan maupun sebagai rakyat harus tunduk pada hukum. Penega- kan hak dan kebebasan antarwarga negara,warga negara dengan pemerintah, dilakukan dengan cara damai sesuai dengan hukum yang berlaku

6.Perguruan tinggi
Perguruan Tinggi mengkritisi kebijakan pemerintah. Peran Perguruan tinggi untuk
mewujudkan masyarakat madani, menurut Riswanda Imawan :
·         Pemihakan yang tegas pada prinsip egalitarianisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang demokratis
·         Membangun political safety net, yakni dengan mengembangkan dan mempublikasikan informasi secara objektif
·         Melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara yang santun, saling menghormati, demokratis

7.      Partai politik
      Partai Politik merupakan wahana menyalurkan aspirasi politik

G.    Kondisi-kondisi kondusif yang perlu diciptakan untuk terwujudnya masyarakat madani diantaranya adalah sebagai berikut :

·         Deregulasi ekonomi yang mengarah pada penghapusan terutama hak-hak seperti kartel, monopoli,dominasi,sistem koneksi atas prestasi ekonomi
·         Keterbukaan politik meskipun harus dilakukan dalam konteks tahap tertentu sesuai perkembangan ekonomi berkelanjutan, untuk mendorong terjadinya demokratisasi
·         Perwujudan negara hukum secara efektif, termasuk jaminan hak asasi manusia

H.    Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani.
Hal ini berkaitan dengan kondisi 2 hal, yaitu:
a.       Kualitas Sumber Daya Umat Islam
·   Sebenarnya Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah sebagai umat yang terbaik (khoiro ummah)
·   Namun demikian keunggulan Umat Islam tersebut adalah bersifat normatif potensial, bukan riil pasti. Dalam sejarah Islam keunggulan pernah terjadi pada masa Bani Abbasyiyah, kemudian pada pertengahan abad 13 mengalami kemunduran lagi, dan sampai sekarang masih tertinggal, sehingga sangat memerlukan kesadaran dan semangat umat Islam untuk bangkit dan maju kembali

b.      Posisi Umat Islam
·      Saat ini masih belum menunjukkan kualitasnya yang unggul/masih rendah padahal jumlah dan potensi alamnya sangat mendukung.
·      Eksploitasi alamnya banyak dilakukan oleh kalangan non Islam, sehingga keuntungan besar diperoleh mereka.
·      Sistem sosial, politik, budaya, ekonominya masih belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan sebagian tokoh-tokohnya belum mencerminkan akhlak Islam.


I.        Kelebihan Dan Kelemahan Konsep Masyarakat Madani

Kelebihan konsep masyarakat madani :
            Beberapa kelebihan menggunakan wacana civil society untuk melihat prospek demokrasi di Indonesia adalah sebagai berikut:
            Pertama, sebagai kerangka analisis, wacana masyarakat madani mampu menjelaskan dan membuka kesadaran tentang posisi saling berhadapan antara masyarakat dan negara. Hal ini penting, sebab selama ini tercipta satu persepsi umum di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat awam, bahwa antara negara dan masyar akat adalah satu kesatuan yang manunggal. Upaya pemerintah melakukan hegemoni --baik melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) maupun melalui pelajaran di tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, seperti PMP (Pendidikan moral Pancasila), PSPB (Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa) dan semacamnya--tampak berhasil membangun persepsi di kalangan masyarakat untuk menempatkan dirinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari negara.
            Konsekuensi dari cara pandang semacam itu adalah, pemerintah atau penguasa diasumsikan sebagai suatu, atau bahkan satu-satunya lembaga yang dapat merumuskan dan mendefinisikan kepentingan dan tujuan bersama. Kepentingan dan nilai yang diperjuangkan oleh negara dipahami sebagai kepentingan dan nilai-nilai masyarakat. Dengan demikian, perlawanan terhadap kepentingan dan nilai yang diperjuangkan negara dianggap tak mempunyai landasan moral, karena berarti melawan terhadap kepentingan dan nilai-nilai umum masyarakat itu sendiri.
Wacana masyarakat madani dapat menggugah kesadaran pada banyak pihak bahwa, antara Negara dan masyarakat sebenarnya tidak harus dipandang sebagai satu kesatuan. Masing-masing dapat dipahami sebagai dua entitas yang saling berhadapan: mempunya aspirasi, kepentingan dan tujuan yang mungkin tak selalu sama. Karena itu, adalah suatu kewajaran jika antara masyarakat dan Negara saling berkonflik untuk memperebutkan atau memperjuangkan sesuatu yang sama maupun berbeda. Kedua, wacana masyarakat madani dapat mengilhami sekaligus menjelaskan munculnya gerakan-gerakan pro demokrasi di Indonesia.
            Keberhasilan gerakan civil society di beberapa negara Eropa Timur dan Tengah dalam menu mbangkan rejim totaliter atau otoriter dan menciptakan negara demokrasi dapat dijadikan pelajaran berharga untuk melihat peran yang sama di negara-negara totaliter atau otoriter yang lain. Wacana masyarakat madani dijadikan sebagai kerangka analisis untuk menjelaskan proses transformasi menuju demokrasi di banyak negara. Dari pengalaman Eropa Timur dan Tengah menunjukkan, bahwa munculnya gerakan masyarakat madani diawali oleh ketidakmampuan rejim totaliter di kawasan tersebut untuk memenuhi janji-janjinya sendiri dalam menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial. Di negara-negara ini, sistem totaliter di bawah rejim komunis dihadapkan dengan kekuatan demokratis dalam masyarakat madani yang bertujuan
(a) membebaskan individu dari cengkeraman penguasa
(b) memulihkan kemandirian individu sebagai warga Negara
(c) menuntut jaminan hak-hak asasi manusia, kebebasan berbicara dan menyatakan  
     pendapat, serta keadilan yang merata di seluruh bidang kehidupan, baik sosial,
     ekonomi maupun politik.
            Fenomena tersebut menimbulkan revolusi harapan di seba gian masyarakat Indonesia, yang merasa tinggal di suatu negara yang mempunyai persamaan dengan negara- negara di Eropa Timur dan Tengah, yakni kuatnya peranan negara. Termasuk juga, persamaan kuatnya peran negara antara Indonesia dan beberapa negara Amerika Latin yang mengalami proses transformasi demokrasi melalui civil society . Dengan demikian, harapan yang patut diajukan adalah: tidakkah akan muncul fenomena yang sama, yaitu penguatan masyarakat madani dan proses demokratisasi di Indonesia sebagaimana yang pernah terjadi di beberapa negara di mana intervensi negara dalam kehidupan masyarakat cukup kuat? Revolusi harapan inilah yang mengilhami munculnya gerakan prodemokrasi di Indonesia.
            Ketiga, wacana masyarakat madani dapat membantu mengidentifikasi kelompok- kelompok strategis yang mempunyai kemungkinan besar tampil sebagai agen demokrasi. Artinya, pengalaman kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat madani di beberapa Negara yang mengalami transformasi demokrasi melalui civil society dapat dijadikan sebagai barometer untuk melihat peran yang sama yang dimainkan oleh kelompok-kelompok tersebut di negara-negara lain. Di beberapa negara ini, kelompok seperti buruh, petani, cendekiawan, gereja, partai politik dan semacamnya, mempunyai peran yang cukup menentukan dalam proses transformasi demokrasi. Wacana demikian itu dapat dijadikan pijakan untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok strategis yang dapat dijadikan sebagai agen demokratisasi di Indonesia.
            Tentu saja, relevansi wacana tersebut tidak hanya sebatas sebagai sarana untuk mengidentifikasikan kelompok prodemokrasi. Lebih dari itu, identifikasi kelompok strategis ini dapat dijadikan oleh para "penggerak" demokrasi di Indonesia sebagai "ladang garapan". Artinya, kelompok-kelompok masyarakat madani seperti buruh, petani, cendekiawan, gereja dan sebagainya, yang di beberapa Negara lain berhasil melakukan gerakan transformasi demokrasi dijadikan sebagai dasar untuk membangun penguatan masyarakat madani dan agen demokratisasi di Indonesia.
Keempat, diskursus itu dapat dijadikan sebagai pelajaran untuk merumuskan strategi perjuangan masyarakat madani dalam rangka proses demokratisasi di Indonesia.
Berbagai strategi transformasi demokrasi di berbagai negara dapat dievaluasi yang kemudian diseleksi yang paling cocok untuk kasus Indonesia. Mempelajari strategi transformasi demikian itu penting karena tak semua masyarakat madani beserta kelompok-kelompok di dalamnya di berbagai negara yang telah mengalami transformasi demokrasi itu menggunakan strategi yang sama. Gerakan prodemokratisasi di Indonesia dapat mengadopsi berbagai strategi yang pernah dilakukan di negara lain sesuai dengan kondisi Indonesia.
            Namun, pemilihan strategi untuk mencapai tujuan di atas haruslah dilakukan secara tepat, sehingga tidak sama dengan cara yang ditempuh oleh rejim otoriter yang ditentangnya. Strategi yang dilakukan--apakah strategi gerakan sosial melalui mobilisasi massa secara besar-besaran, protes dan pemogokan kaum buruh, petani dan sebagainya, atau melalui strategi gerakan kultural lewat film, diskusi kebudayaan, dan karya-karya sastra--haruslah bertumpu pada landasan moral, atau didasarkan pada semangat etis dan tanggung jawab sosial. Strategi gerakan masyarakat madani semacam itu--seperti yang terjadi di Cekoslowakia dan Polandia-- ternyata berhasil menciptakan jaringan yang sangat luas, meliputi lembaga-lembaga agama, kelas pekerja, petani, cendekiawan dan sebagainya.

Kelemahan-Kelemahan Konsep Masyarakat Madani
            Sementara itu, beberapa kelemahan wacana atau konsep masyar akat madani jika digunakan untuk me nganalisis prospek demokrasi di Indonesia adalah sebagai berikut.
            Pertama, konsep masyarakat madani dibangun dari budaya Barat (Eropa), sehingga dalam beberapa hal mengalami benturan jika digunakan untuk menganalisis kasus Indonesia, termasuk juga terhadap kasus di beberapa Negara Asia yang lain. Karena itu, menggunakan konsep masyarakat madani dalam memahami proses demokratisasi di Indonesia harus hati-hati. Masyarakat madani adalah konsep yang lahir dari sejarah dan "mimpi" Barat. Ia muncul bersama proses modernisasi, terutama pada saat terjadi transformasi masyarakat feodal agraris menuju masyarakat industrial kapitalis. Sebagai gagasan, ia lahir sebagai anak kandung periode Pencerahan yang mengantarkan sekularisme sebagai pengganti agama. Karena itu, masyarakat madani di Barat dan Timur mempunyai fundasi historis yang berbeda, sehingga penggunaan konsepnya harus memperhatikan kondisi yang berbeda tersebut (Mardin, 1995: 278- 300).
            Di samping itu, menempatkan demokrasi sebagai satu-satunya arah yang hendak dituju oleh perjuangan masyarakat madani di Indonesia tampaknya juga harus hati- hati. Mungkin tak semua perjuangan civil society di Indonesia menghendaki arah demokrasi liberal sebagaimana yang terjadi di beberapa negara Eropa Timur dan Tengah. Masih ada sebagian kelompok yang menghendaki demokrasi pancasila. Selain itu, di dalam demokrasi sendiri ternyata menyimpan banyak keterbatasan. Salah satunya adalah ketidakmampuan para kampiun demokrasi menerapkan nilai-nilai demokrasi secara universal. Misalnya, sering terdengarnya ketidakadilan di Amerika Serikat terhadap warga kulit hitam, juga perlakuan tak adil di Australia terhadap suku aborigin dan sebagainya.
Bahkan, beberapa Negara menggunakan standar ganda dalam menerapkannya. Perancis misalnya, perilaku demokratisnya hanya di negaranya, sementara perilaku yang sama tidak ditunjukkan di Aljazair (Hamdi, 1996). Berbagai keterbatasan itu tampaknya mempengaruhi sebagian kelompok masyarakat madani di Indonesia untuk mempertanyakan demokrasi macam apa yang hendak dituju.
            Kedua, wacana tersebut ternyata tidak seluruhnya berisi cerita-cerita sukses transformasi demokrasi, namun juga cerita minor. Konflik etnis dan agama yang begitu menguat di beberapa daerah bekas Yugoslavia merupakan salah satu contohnya. Pertikaian segitiga antar suku, ras dan agama antara Kroasia, Serbia dan Bosnia, seakan membenarkan tesis Hegel, yaitu bahwa masyarakat madani adalah suatu entitas yang cenderung menghancurkan dirinya sendiri, sehingga diperlukan intervensi negara.
            Kenyataan ini setidaknya dapat meragukan optimisme Fukuyama, sebab kebangkitan demokrasi liberal di berbagai negara setelah perang dingin justru menimbulkan semangat nasionalisme kesukuan dan keagamaan ( ethnoreligious ). Inilah mungkin, letak relevansi tesis Hall bahwa nasionalisme merupakan salah satu musuh ( enemy ) masyarakat madani (Hall, 1995:12-4). Kasus-kasus khusus di atas membawa pada satu kesimpu lan penting, bahwa gerakan masyarakat madani di Eropa Timur dan Tengah ternyata tidak seluruhnya mengh asilkan demokrasi. Artinya, jalan menuju demokrasi melalui masyarakat madani ternyata tidak semulus yang dibayangkan banyak orang, termasuk oleh pendukung gerakan civil society itu sendiri. Kenyataan itu meragukan sebagian kalangan di Indonesia, apakah penguatan masyarakat madani yang bisa berimplikasi pada penguatan perasaan kesukuan dan keagamaan merupakan satu- satunya cara yang paling tepat untuk menuju demokrasi di Indonesia.
            Ketiga, dari segi tradisi ketatanegaraan di Indonesia, setidaknya pada masa Orde Baru yang baru lalu, penempatan masyarakat dan negara pada posisi yang berhadapan kurang mempunyai landasan normatif/hukum, setidaknya menurut interpretasi penguasa. Para pemegang kekuasaan meyakini bahwa antara negara dan masyarakat adalah tidak bisa diposisikan saling bertentangan. Dalam tradisi konsep kekuasaan Jawa disebut sebagai " manunggaling kawula gusti " (menyatunya rakyat dan penguasa).
            Dalam praktek kenegaraan modern, hal ini dimanifestasikan dalam faham kenegaraan yang oleh Soepomo disebut negara integralistik, di mana kedaulatan negara pada taraf-taraf tertentu dapat mengatasi kedaulatan rakyat. Perdebatan tentang faham negara Integralistik dan kritik terhadapnya. Keempat, komponen-komponen masyarakat madani sebagai prasyarat tegaknya demokrasi modern di Indonesia sangat sulit terpenuhi.
            Di Indonesia, baik individu maupun kelompok, sangat sulit memiliki otonomi yang kuat dihadapan negara, karena sistem perwakilan kepentingan di Indonesia menggunakan sistem korporatisme negara. Demikian juga komponen adanya ruang publik yang relatif bebas dari intervensi negara. Berbagai ruang publik yang ada seperti pers misalnya, tidak bebas dalam menjalankan perannya karena kontrol yang cukup ketat dari negara melalui lembaga SIUP (Surat Ijin Usaha Penerbitan). Karena itu, akses masyarakat terhadap kedua komponen tersebut juga sangat lemah. Intervensi negara cukup kuat, baik pada berfungsinya lembaga-lembaga tersebut maupun pada masyarakat.
J.      Menjadi Masyarakat Madani Indonesia

Indonesia, pada masa reformsai ini, membutuhkan tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani. Kondisi Indoneia yang dilanda euphoria demokrasi, semangat otonomi daerah, dan derasnya globalisasi membutuhkan masyarakat yang mempunyai kemauan dan kemampuan hidup bersama dalam sikap saling menghargai, toleransi, dalam  kemajemukan  yang  tidak  saling  mengeklusifkan  terhadaberbagai  suku, agama, bahasa, dan adat yang berbeda. Kepedulian, kesantunan, dan setia kawan merupakan sikap yang sekaligus menjadi prasaran yang diperlukan bangsa Indonesia.

Pengembanga masyaraka madan di   Indonesia   tidak   bisa   dipisahka dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri. Kebudayaan, adat istiadat, pandangan hidup, kebiasaan, rasa sepenanggungan, cita-cita dan hasrat bersama sebagai warga dan sebagai bangsa, tidak mungkin lepas dari lingkungan serta sejarahnya. Linkungan dan akar sejarah kita, warga dan bangsa Indonesia, sudah diketahui baik kekurangan maupun kelemahan, juga diketahui kelebihan dan keunggulannya. Di antara keunggulan bangsa Indonesia, adalah berhasilnya proses akulturasi dan inkulturasi yang kritis dan konstruktif. Pada saat ini, ada pertimbangan lain mengapa pengembangan  masyarakat  madani  harus  secara  khusus  kitberi  perhatian.  Kita hidup dalam zaman, di mana interaksi tidak saja berlangsung secara domestic dan regional, tetapi sekaligus secara global. Dari idiom yang kita pakai, kemauan dan kemampuan kita untuk adaptasi, akulturasi, dan inkulturasi, lebih-lebih lagi sangat kita perlukan dalam masa reformasi menuju demokratisasi dewasa ini.

Hidayat Nur Wahid mencirikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang memegang teguh ideology yang benar, berakhlak mulia, secara politikekonomi- budaya bersifat mandiri, serta memiliki pemerintahan sipil. Sedangkan menurut Hikam, ciri- ciri masyarakat madani adalah: (a) adanya kemandirian yang cukup tinggi di antara individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat terhadap negara, (b) adanya kebebasan menentukan wacana dan praktik politik di tingkat publik, dan (c) kemampuan membatasi kekuasaan negara untuk tidak melakukan intervensi.

Untuk membangun masyarakat  madani  di  Indonesia,  ada  enam  factor  yanharus diperhatikan, yaitu :

1.   Adanya perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pandapatan masyarakat, dan dapat mendukung kegiatan pemerintahan.
2 Tumbuhnya intelektualitas dalam rangka membangun manusia yang memiliki komitmen untuk independent.
3 Terjadinya persegeran budaya dari masyarakat yang berbudaya paternalistic
menjadi budaya yang lebih modern dan lebih independent.
4.   Berkembangnya pluralisme dalam kehidupan yang beragam
5 Adanya partisipasi aktif dalam menciptakan tata pamong yang baik
6.   Adanya  keimanan  dan  ketakwaan  kepada  Tuhan  yang   melandasi  moral

K.      Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani
Pendidikan Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam berbagai  aspek.  Upaya  perbaikannya belum  dilakukan secara  mendasar, sehingga terkesan seadanya saja ....Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar, selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli. Padahal pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas [Muslih Usa, 1991:11-13]. Berdasarkan  uraian  ini,  ada  dua  alasan  pokok  mengapa  konsep            pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia untuk menuju masyarakat madani sangat mendesak. [a] konsep dan praktek pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran kembali konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani. [b] lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dimiliki sekarang ini,  belum atau  kurang mampu memenuhi kebutuhan umat  Islam  dalam  menghadapi tantangan dunia  modern  dan  tantangan masyarakat  dan  bangsa  Indonesia  disegala  bidang.  Maka,  untuk  menghadapi dan menuju masyarakat madani diperlukan konsep pendidikan Islam serta peran sertanya secara mendasar dalam memberdayakan umat Islam,
Suatu usaha pembaharuan pendidikan hanya bisa terarah dengan mantap apabila  didasarkan  pada  konsep  dasar  filsafat  dan  teori  pendidikan  yang  mantap. Filsafat pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan di atas dasar asumsi- asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia [hakekat] kejadiannya, potensi- potensi bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagi individu maupun
sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta dan
akhiratnya hubungan dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan filsafat dan pendekatan emperis [Anwar Jasin, 1985:8], Sehubungan dengan itu, konsep dasar pembaharuan   pendidikan   Islam   adalah   perumusan   konsep   filsafat   dan   teoritis pendidikan yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungan dan menurut ajaran Islam.
Maka, dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam perlu dirumuskan secara jelas implikasi ayat-ayat al-Qur'an dan hadits yang menyangkut dengan "fitrah" atau potensi bawaan, misi dan tujuan hidup manusia. Karena rumusan tersebut akan menjadi

konsep dasar filsafat pendidikan Islam. Untuk itu, filsafat atau segala asumsi dasar pendidikan Islam hanya dapat diterapkan secara baik jikalau kondisi-kondisi lingkungan (  sosial  -  kultural  )  diperhatikan.       Jadi,  apabila  kita  ingin  mengadakan perubahan pendidikan Islam maka langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan konsep dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam,  mengembangkan secara empris prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan [sosial cultural]  yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. Jadi,  tanpa kerangka dasar filosofis dan teoritis yang kuta, maka perubahan pendidikan Islam tidak punya pondasi  yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti [Rangkuman dari Anwar Jasin, 1985:8 9].
Konsep dasar filsafat dan teoritis pendidikan Islam, harus ditempatkan dalam konteks supra sistem masyarakat madani di  mana pendidikan itu akan diterapkan. Apabila terlepas dari konteks "masyarakat madani", maka pendidikan menjadi tidak relevan dengan kebutuhan umat Islam pada kondisi masyarakat tersebut [masyarakat madani]. Jadi, kebutuhan umat yang amat mendesak sekarang ini adalah mewujudkan dan meningkatan kualitas manusia Muslim menuju masyarakat madani. Untuk itu umat Islam           di         Indonesia         dipersiapkan   dan            harus   dibebaskan      dari      ketidaktahuannya [ignorance] akan kedudukan dan peranannya dalam kehidupan "masyarakat madani" dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Islam haruslah dapat meningkatkan mutu umatnya dalam menuju "masyarakat madani". Kalau tidak umat Islam akan ketinggalan dalam kehidupan "masyarakat madani" yaitu masyarakat ideal yang  dicita-citakan bangsa  ini. Maka  tantangan utama  yang  dihadapi umat  Islam sekarang adalah peningkatan mutu sumber insaninya dalam menempatkan diri dan memainkan perannya dalam komunitas masyarakat madani dengan menguasai ilmu dan teknologi yang berkembang semakin pesat. Karena, hanya mereka yang menguasai ilmu dan teknologi modern dapat mengolah kekayaan alam yang telah diciptakan Allah untuk manusia dan diamanatkan-Nya kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk diolah bagi kesejahteraan umat manusia.
Maka masyarakat madani yang diprediski memiliki ciri;Universalitas,Supermasi,  Keabadian,  Pemerataan  kekuatan,  Kebaikan  dari  dan  untuk  bersama, Meraih kebajikan umum, Perimbangan kebijakan umum, Piranti eksternal, Bukan berinteraksi pada keuntungan, dan Kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. Atas dasar konsep   ini, maka konsep filsafat dan teoritis pendidikan Islam dikembangkan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam kontek lingkungan masyarakat madani tersebut, sehingga pendidikan relevan dengan kondisi dan ciri sosial kultural masyarakat tersebut. Maka, untuk mengantisipasi perubahan menuju "masyarakat madani", pendidikan Islam harus didisain untuk menjawab perubahan tersebut. Oleh karena itu, usulan perubahan sebagai berikut : [a] pendidikan harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama, karena, dalam pandangan seorang muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT, [b] pendidikan menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini, (c) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan, [d] pendidikan yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur [Suroyo, 1991:45-48], (e) pendidikan Islam harus didisain untuk mampu menjawab tantangan masyarakat madani.
Dalam konteks ini juga perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga- lembaga pendidikan [Anwar Jasin, 1985:15] Islam yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan tabal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan bahkan terjadi tumpang tindih.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam mengambil secara utuh semua kurikulum [non-agama] dari kurikulum sekolah umum, kemudian tetap mempertahankan sejumlah program pendidikan agama, sehingga banyak bahan pelajaran yang tidak dapat dicerna oleh peserta didik secara baik, sehingga produknya [hasilnya] serba setengah-tengah atau tanggung baik pada ilmu-ilmu umum maupun pada ilmu-ilmu agama. Untuk itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya mulai memikirkan kembali disain program pendidikan untuk menuju masyarakat madani, dengan memperhatikan relevansinya dengan bentuk atau kondisi serta ciri masyarakat madani. Maka untuk menuju "masyarakat madani", lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi yaitu apakah   mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif dengan lembaga pendidikan umum atau mengkhususkan pada disain pendidiank keagamaan yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif, misalnya mempersiapkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid yang berkaliber nasional dan dunia.



BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulakn sebagai berikut :
1. Menyarakat madani merupakan suatu wujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan ciri: universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama,   meraih kebajikan umum, piranti eksternal, bukan berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. ciri masyarakat ini merupakan masyarakat yang ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah pada era reformasi ini, akan mengarakan semua potensi bangsa berupa pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, militer, kerah masyarakat madani yang dicita- citakan.
 2. Konsep dasar pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada asumsi- asumsi dasar tentang manusia meenurut aajaran Islam, filsafat dan teori pendidikan Islam yang dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia dan  lingkungannya.  Atau  dengan  kata  lain  pembaharuan  pendidikan  Islam  adalah filsafat dan teori pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk lingkungan (sosial- kultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani.
3. Konsep dasar pendidikan Islam supaya relevan dengan kepentingan umat Islam dan relevan dengan disain masyarakat madani. Maka penerapan konsep dasar filsafat dan teori pendidikan harus memperhatikan konteks supra sistem bagi kepentingan komunitas "masyarakat madani" yang dicita-citakan bangsa ini.
Penciptaan tatanan kehidupan masyarakat madani salah satunya adalah melalui penegakan kehidupan demokrasi. Wawasan dasar Islam tentang prinsip-prinsip demokrasi seperti keadilan, persamaan, kebebasan dan musyawarah, demikian juga dengan sikap pluralisme, toleransi dan pengakuan hak-hak asasi manusia telah berfungsi dengan baik selama masa Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin dalam kehidupan sosial politik, yang oleh kalangan intelektual Muslim direfleksikan sebagai tatanan masyarakat madani. Kondisi internal ummat setelah periode Khulafa’ al-Rasyidin yang tidak lagi kondusif bagi munculnya tatanan kehidupan politik yang demokratis, menyebabkan prinsip-prinsip dasar Islam mengenai demokrasi tidak bisa diformulasikan ke dalam lembaga politik yang mapan. Akibatnya, perbedaan antara teori (wawasan islam tentang demokrasi) dan praktik kehidupan politik terlihat sangat jauh; menjadikan ummat Islam terkesan asing dengan simbol-simbol demokrasi yang berkembang. Keterasingan simbol itulah yang barang kali menjadikan orang berusaha untuk mengimbanginya dengan merumuskan kembali tatanan kehidupan yang ada pada “masyarakat madani”.
3.2 SARAN
Dalam perkembangan zaman yang semakin maju yang diikuti oleh gempuran dari adanya globalisasi, maka masyarakat madani akan menjadi suatu tatanan masyarakat yang paling ideal yang dapat diterapkan pada saat ini. Namun untuk mewujudkan masyarakat madani seperti yang kita harapkan, sangat diperlukan adanya kerjasama dari berbagai pihak yang saling terkait, sehingga akan tercipta masyarakat yang ideal, demokratis, dan sejahtera seperti yang dicita citakan oleh semua bangsa dan Negara di belahan dunia ini.
















DAFTAR PUSTAKA
 Abdillah, Masykuri. 1999. Islam dan Masyarakat madani. Kompas Online. 27 Februari 1999.

Abdurrahman, Moeslim. 1999.  Peran Masyarakat Akademis sebagai Bagian Masyarakat madani. Kompas Online. 29 dan 30 April 1999.

Ahmadi, H. 2000. Reformasi Sistem Pendidikan Islam dan Era Reformasi: Telaah Filsafat Pendidikan. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

0 komentar:

Posting Komentar