BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ironis sekali jika melihat kondisi Pemerintahan Indonesia saat
ini. Negara yang notabene religius ternyata menyimpan berbagai masalah dalam
hal etika dan moral. Korupsi, hanya merupakan salah satu contoh dari
penyimpangan moral yang terjadi di Indonesia belakangan ini, korupsi
seakan-akan telah melembaga di dalam masyarakat serta sudah menjadi suatu
rahasia umum. Bahkan bagi para pejabat, korupsi seperti menjadi kewajiban, dan
justru dianggap menyimpang kalau tidak melakukannya. Apalagi membahas tentang perumusan
kebijakan, akhir-akhir ini telah kita dengar istilah “Pasal Pesanan” yang
sangat tidak mencerminkan etika pemerintahan yang baik. Konsep Good
Governance yang ditawarkan oleh system demokrasi untuk menjadi sebuah
solusi terbaik nampaknya hanya merupakan janji manis yang ditawarkan pada awal
masa kampanye saja.
Namun prakteknya di
lapangan, demokrasi dijalankan hanya oleh para elit politik dan
kurang
menyentuh keterlibatan masyarakat secara luas. Akibatnya akuntabilitas,
responsibilitas dan responsivitas pemerintah hanya berputar-putar dikalangan elite
politic saja, tidak kepada masyarakat.
Konsep “Masyarakat Madani” yang sering digunakan oleh negara-negara
Eropa Timur, memiliki pandangan lain tentang masyarakat dan pemerintah.
Konsep Masyarakat Madani selalu berangkat dari permasalahan dan
sekaligus konsep tentang individu. Sehingga kalau individunya baik sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat madani, maka masyarakatnya akan
baik pula.tidak hanya itu saja,
Masyarakat Madani lebih memfokuskan
pada masyarakat, pada konsep dan praktek citizenship atau
kewarganegaraan-seolah lepas dari prebutan kekuasaan politik.
Maka berdasarkan konsep Masyarakat Madani tersebut, untuk
mewujudkan tata pemerintahan yang baik perlu adanya sinergitas diantara empat
bagian, yaitu community (masyarakat), government (pemerintah), business (usaha
perekonomian atau pengusaha), dan
voluntary
(organisasi/gerakan kedermawanan atau LSM). Masing-masing bagian berporos
pada
satu wadah berupa individual, bertanggungjawab untuk menemukan nilai-nilai
yang berbeda dalam rangka “The search
for the good life” (menemukan kehidupan yang baik)
Akhir-akhir ini sering muncul ungkapan dari sebahagian pejabat pemerintah, politisi, cendekiawan, dan tokoh-tokoh masyarakat tentang masyarakat madani (sebagai
terjemahan dari kata civil society). Tanpaknya,
semua
potensi bangsa Indonesia dipersiapkan dan diberdayakan untuk menuju masyarakat madani yang
merupakan cita- cita dari
bangsa ini.Masyarakat madani
diprediski sebagai masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi
budaya, adat istiadat, dan agama. Demikian
pula, bangsa Indonesia pada era reformasi
ini diarahkan untuk
menuju masyarakat madani, untuk itu kehidupan
manusia Indonesia akan mengalami
perubahan yang fundamental yang tentu akan berbeda dengan kehidupan masayakat pada era orde baru. Kenapa,
karena dalam masyarakat madani yang dicita-citakan, dikatakan akan memungkinkan
"terwujudnya kemandirian masyarakat, terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan [pluraliseme]" , serta taqwa, jujur, dan taat hukum.
Konsep
masyarakat madani merupakan tuntutan
baru yang memerlukan berbagai torobosan di dalam berpikir,
penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan. Dengan kata lain, dalam menghadapi
perubahan masyarakat dan zaman, “diperlukan suatu paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Karena menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi
dengan menggunakan paradigma lama, maka segala
usaha
yang
dijalankan akan
memenuhi kegagalan".
Terobosan pemikiran kembali konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam menuju masyarakat madani sangat diperlukan,
karena "pendidikan sarana terbaik yang didisain
untuk menciptakan suatu generasi
baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus
tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam
pendidikan mereka atau tidak menyadari
adanya perkembangan-perkembangan
disetiap cabang pengetahuan
manusia. Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka masalah yang perlu dicermati
dalam pembahasan ini adalah bagaimanakah pendidikan Islam didisain
menuju masyarakat madani
Indonesia.
1.2 RUMUSAAN
MASALAH
A. Apakah yang dimaksud dengan masyarakat madani
?
B. Bagaimanakah konsepsi masyarakat madani dalam
pandangan islam ?
C. Bagaimanakah sejarah masyarakat madani ?
D. Apakah faktor yang melatarbelakangi munculnya
masyarakat madani ?
E. Bagaimanakah karakteristik dan ciri ciri
masyarakat madani ?
F. Apakah instansi yang merupakan institusi
penegak masyarakat madani ?
G. Bagaimanakah kondisi-kondisi kondusif yang perlu
diciptakan untuk terwujudnya masyarakat madani ?
H. Bagaimanakurangan
dari konsep kah Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan
Masyarakat Madani ?
I. Bagaimanakah kelebihan dan kelemahan konsep masyarakat
madani ?
J. Bagaimana Membangun Masyarakat Indonesia Menjadi
Masyarakat Madani ?
K. Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani ?
1.3 TUJUAN
PEMBAHASAN
1.
Memenuhi
tugas yang diberikan pada mata kuliah
Pengantar Agama Islam Universitas Negeri Semarang
2
Menelaah
masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada saat ini khususnya yang berhubungan dengan konsep masyarakat
madani
3
Membantu
dalam membahas dan menyelesaikan masalah kehidupan yang dihadapi pada saat ini
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
masyarakat madani menurut pendapat beberapa ahli
Menurut Zbigniew Rau (dengan kajian kawasan Eropa Timur dan
Uni Sovyet)
Masyarakat
madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan
negara. Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan negara diekspresikan dengan
ciri-ciri individualisme, pasar dan pluralism.
Menurut Han Sung Jao (dengan latar belakang Korea Selatan) Masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan
menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari
negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik,
gerakan warga negara yang mampu mengendali kan diri dan independen, yang secara
bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan
solidaritas yang terbentuk serta akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam
civil society ini.
Menurut Kim Sunhyuk (dengan latar belakang Korea Selatan) Masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri
dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan
gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara, yang
merupakan satuan-satuan dasar dari repro duksi dan masyarakat politik yang
mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik, guna menyatakan
kepedulian mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang
mandiri.
Menurut Anwar Ibrahim (Indonesia) Masyarakat madani adalah suatu sistem sosial yang
subur yang diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara
kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya
usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan
pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu
menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparancy
sistem.
Menurut Prof. Naquib Al-Attas (Malaysia) Masyarakat madani merupakan konsep masyarakat ideal
yang mengandung dua komponen besar yanitu masyarakat lota dan masyarakat yang
beradab. Konsep ini banyak diikuti oleh cendekiawan Indonesia seperti
Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, dan Azyumardi Azra. Pada prinsipnya
masyarakat madani adalah sebuah tatanan komunitas masyarakat yang mengedepankan
toleransi, demokrasi, dan berkeadaban serta menghargai adanya pluralisme
(kemajemukan).
Menurut
Komaruddin Hidayat, bagi kalangan
intelektual Muslim kedua istilah
[masyarakat agama dan masyarakat
madani] memilki akar normatif dan kesejarahan yang
sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah,
yang berarti "kota peradaban", yang semula kota itu bernama
Yathrib ke Madinah
difahami oleh umat
Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah
Muhammad untuk mewujudkan sebuah
masyarakat Madani, yang diperhadapkan
dengan masyarakat Badawi dan Nomad. Untuk kondisi
Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat
Modern.
Menurut M. Dawam Rahadjo Masyarakat madani Ruang partisipasi masyarakat,
dalam perkumpulan-perkumpulan sukarela, media massa, perkumpulan profesi,
serikat buruh tani, keagamaan.
Menurut
Nurcholis Madjid, konsepsi Perkataan
madinah menujuk kepada semangat dan pengertian civil society, yang berarti
masyarakat sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk negara yang baik.
Jadi,
dapat disimpulkan bahw Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang
menggambarkan maasyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan
dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang
kondusif bagi penciptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
B.
Konsepsi masyarakat
madani menurut pandangan islam
Konsep
“masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil
society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar
Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil
society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat
Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai
legitimasi historis
ketidakbersalahan pembentukan civil
society dalam masyarakat muslim
modern.
Makna Civil
Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society.
Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat.
Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies
civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami
sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari
pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini
mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian
kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond,
2003: 278).
Antara
Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan
di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan
konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society
lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan
pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern
akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya. Perbedaan lain
antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society
merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan
Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga
civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan
Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan
asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani
sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas
landasan nilai-nilai etik-moral
transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii
Maarif, 2004: 84). Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah:
memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang
beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil
society atau masyarakat sipil, sebuah
kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997),
masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of
voluntary activity which takes place outside of government and
the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
Konsep
masyarakat madani itu lahir sebagai hasil dari Festival Islam yang dinamai
Festival Istiqlal, suatu festival yang selenggarakan oleh ICMI (Ikatan
Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam
yang didirikan pada Desember 1991 dengan restu dari Presiden Soeharto dan
diketuai oleh BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yang menduduki jabatan Menteri
Riset dan Teknologi. Berdirinya ICMI tidak lepas dari peranan Habibie yang
berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk mengakomodasi kepentingan golongan
menengah Muslim yang sedang berkembang pesat dan memerlukan sarana untuk
menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut karena Soeharto sedang mencari
partner dari golongan Muslim agar mendukung keinginannya menjadi presiden pada
tahun 1998. Hal ini dilakukan Soeharto untuk mengurangi tekanan pengaruh dari
mereka yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama dari kalangan nasionalis
yang mendirikan berbagai LSM dan kelompok Islam yang menempuh jalur
sosio-kultural seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri.
Mereka
mengembangkan gerakan prodemokrasi dengan memperkenalkan konsep civil society
atau masyarakat sipil. Konsep ini ditawarkan sebagai kaunter terhadap hegemoni
negara yang begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, dan para
teknokratnya. Konsep Civil society
lebih dimaksudkan untuk mengkaunter dominasi ABRI sebagai penyangga utama
eksistensi Orde Baru. ABRI tidak hanya memerankan sebagai unsur pertahanan dan
keamanan saja tetapi juga mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI
menjustifikasi tindakannya pada doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut
memerankan tugas-tugas sipil baik dalam lembaga eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif. Keterlibatannya dalam politik sangat menentukan. Akibatnya check and
balance dalam sistem pemerintahan tidak berjalan dan Orde Baru menjelma menjadi
regim yang bersifat bureaucratic authoritarian (Arif Rohman, 52).
Konsep masyarakat
madani berkembang belakangan sebagai padanan dari masyarakat sipil. Istilah
masyarakat madani yang diperkenalkan kalangan Islam politik menjadi lebih
populer karena didukung oleh Soeharto yang ingin melakukan perubahan politik
secara hati-hati dengan mengurangi keterlibatan ABRI dalam jabatan sipil atas
desakan negara-negara donor dengan berakhirnya perang dingin pada tahun 1989.
Bagi regim Orde Baru, istilah masyarakat madani lebih netral karena tidak
seperti halnya konsep civil society yang ingin mendesak ABRI sebagai kekuatan
pertahanan dan keamanan sebagaimana yang terjadi di USA.
Era Reformasi yang melindas rezim
Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie, yang juga ketua
umum ICMI, sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep
Masyarakat madani karena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan
diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie
mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk
membentuk suatu komite dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan
konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk
menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang
terbukti sudah tidak cocok lagi.
Munculnya konsep masyarakat madani
menunjukkan intelektual muslim Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam
dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada
abad ke-18. Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format
seperti yang dikenal sekarang ini. Konsep masyarakat madani memiliki rentang
waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran
yang akhirnya membentuk profile
konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini Bahkan konsep ini pun masih
akan berkembang terus sebagai akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis
dari konsep tersebut di lapangan. Like all other vocabularies with a political
edge, their meaning is neither self-evident nor unprejudiced (Curtin, 2002: 1).
Perumusan dan pengembangan konsep
masyarakat madani menggunakan projecting
back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi
yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan ukuran baik atau
buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian yang terdapat dalam
khazanah sejarah masa awal Islam (Hamim, 2000: 115-127). Kemudian para
cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil
society yang lahir di Barat dengan masyarakat madani, suatu masyarakat kota
Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis
Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam
konsep civil society.
Mereka melakukan
penyetaraan itu untuk menunjukkan di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan untuk
diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, dan di sisi lain,
masyarakat kota Madinah merupakan proto-type
masyarakat idel produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan masyarakat ideal
dalam konsep civil society. Tentunya
penggunaan konsep masyarakat madani dilakukan setelah teruji validitasnya berdasarkan landasan normatif (nass) dari sumber primer Islam
(al-Qur’an dan Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence).
Perbedaan antara
civil society dengan masyarakat madani
Sebenarnya
antara civil society dan masyarakat terdapat beberapa perbedaan yang mendasar,
namun masyarakat sendiri sering menganggap bahwa kedua istilah tersebut adalah mengandung
arti yang sama. Perbedaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
Civil
Society
|
Masyarakat Madani
|
•
Lahir dari proses sekularisasi, sebagai protes
terhadap rezim-rezim penindas atau otoriter / revolusi
prancis
|
•
Lahir dari landasan, motivasi dan etos keagamaan
|
•
Menekankan pada aspek politik dan perlindungan
hukum sesuai dengan tradisi Barat
|
•
Menekankan pada aspek etika
|
•
Civil Society vis a vis state
|
•
Masyarakat Madani vis a vis Masyarakat
Badawi/terbelakang.
|
•
Bersifat non military
|
•
Bersifat menjunjung tinggi peradaban, budaya.
|
C.
Sejarah
masyarakat madani
Apabila
dicari akar sejarahnya, maka dapat dilihat bahwa dalam masyarakat Yunani Kuno masalah
ini sudah mengemuka. Rahardjo (1997) menyatakan bahwa istilah civil society
sudah ada sejak zaman sebelum Masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah
civil society ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani kuno. Civil
society menurut Cicero ialah suatu komunitas memiliki kode
hokum sendiri. Dengan konsep civility
(kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka kota dipahami bukan hanya sekedar
konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan.
Istilah
masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society, juga berdasarkan
pada konsep
negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M.
Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang berperadaban)
yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun, dan konsep Al Madinah al fadhilah
(Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada
abad pertengahan (Rahardjo seperti yang dikutip Nurhadi, 1999).
Menurut Dr. Ahmad Hatta, peneliti pada
Lembaga Pengembangan Pesantren dan Studi Islam, Al
Haramain, Piagam Madinah adalah dokumen penting yang membuktikan
betapa sangat majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga
memberikan penegasan mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat.
Bahkan, dengan menyitir pendapat Hamidullah (First Written Constitutions
in the World, Lahore, 1958), Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis
pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur
apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights), atau lebih
dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika
(American Declaration of Independence, 1776), Revolusi Prancis (1789), dan Deklarasi
Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan. Secara formal, Piagam Madinah
mengatur hubungan sosial antar komponen masyarakat.
Pertama, antarsesama muslim, bahkan sesame muslim adalah satu umat walaupun
mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan nonsmuslim
didasarkan pada prinsip bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi
musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan menghormati
kebebasan beragama.
Ada dua nilai
dasar yang tertuang dalam Piagam Madinah. Pertama, prinsip
kesederajatan dan keadilan, kedua,
inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip itu lalu dijabarkan,
dan ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai universal, seperti konsistensi, keseimbangan,
moderat, dan toleran. Sementara itu konsep masyarakat madani, atau dalam khazanah
Barat dikenal sebagai civil society (masyarakat sipil), muncul pada masa Pencerahan
(Renaissance) di Eropa melalui pemikiran John Locke (abad ke-18) dan
Emmanuel Kant (abad ke -19). Sebagai sebuah
konsep, civil society berasal dari proses sejarah panjang masyarakat Barat
yang biasanya dipersandingkan dengan konsepsi tentang state (Negara). Dalam tradisi
Eropa abad ke-18, pengertian masyarakat sipil ini dianggap sama dengan negara
(the state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi kelompok lain.
Barulah pada
paruh kedua abad ke-18, terminology ini mengalami pergeseran makna. Negara
dan masyarakat madani kemudian dimengerti sebagai dua buah entitas yang berbeda.
Bahkan kemudian, Kant menempatkan masyarakat madani dan negara dalam
kedudukan yang berlawanan, yang kemudian dikembangkan oleh Hegel, menurutnya
masyarakat madani merupakan subordinatif dari negara. Di Indonesia, perjuangan
masyarakat madani dimulai pada awal pergerakan kebangsaan,
dipelopori oleh Syarikat Islam (1912), dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir
pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999). Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata
harus menghadapi kekuatan represif, baik dari rezim Orde Lama maupun rezim
Orde Baru. Tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era
reformasi ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi.
D.
Faktor yang melatar belakangi munculnya
masyarakat madani
a. Adanya penguasa politik yang cenderung
mendominasi (menguasai) masyarakat dalam segala bidang agar patuh dan taat pada penguasa. Tidak
adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap
hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek
kehidupan. Adanya monopoli dan pemuastan
salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat, karena
secara esensial masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan
yang ditetapkan pemerintah.
b. Masyarakat
diasumsikan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan yang baik (bodoh)
dibandingkan dengan penguasa (pemerintah). Warga negara tidak memiliki
kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya. Sementara,
demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat
madani dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Demokratis berarti masyarakatyang berinteraksi dengan masyarakat
sekitarnya.tanpa mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasyarat demokrasi
ini banyak dikemukakan oleh pakar yang mengkaji fenomena masyarakat
madani. Bahkan demokrasi (demokratis) di sini dapat mencakup sebagai
bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan dan ekonomi.
c. Adanya usaha
membatasi ruang gerak dari masyarakat dalam kehidupan politik. Keadaan ini
sangat menyulitkan bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat, karena pada
ruang politik yang bebaslah individu berada dalam posisi yang setara, dan
akan mampu melakukan transaksitransaksi politik tanpa ada kekhawatiran.
E.
Karakteristik
serta ciri ciri masyarakat madani
Ada tiga
karakteristik dasar dalam masyarakat madani, yaitu :
1.
Diakuinya
semangat pluralisme.
Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah
keniscayaan yang tidak dapat dielakkan, sehingga mau tidak mau, pluralitas
telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain,
pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati
(given) dalam kehidupan. Pluralismebertujuan mencerdaskan umat melalui
perbedaan konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya
kreativitas, yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan.
Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah perbedaan
yang kosmopolit akan tercipta manakala manusia memiliki sikap inklusif,
dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan
sekitar. Namun, dengan catatan, identitas sejati atas parameter parameter otentik agama tetap terjaga.
2.
Tingginya
sikap toleransi.
Baik terhadap saudara sesame agama
maupun terhadap umat agama lain. Secara sederhana
toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar, dan
menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal
itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak semata mata mempertahankan
kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun, juga mengakui
eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup berdampingan, dan
saling menghormati satu sama lain.
3. Tegaknya
prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekedar kebebasan dan persaingan, demokrasi
adalah pula suatu pilihan untuk bersama-sama membangun, dan memperjuangkan
perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahteran. Masyarakat
madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan kepada Tuhan yang tinggi, hidup
berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup
modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak dan moral
yang baik, mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan,
dan menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik,
dan lembaga masyarakat.
Karakteristik
Umum tatanan masyarakat madani, sebagaimana yang tersirat dalam Piagam Madinah
(AZIZAH, 2009), maka dapat ditemukan dalam 10 prinsip pembangunan masyaraakat
yaitu:
1. Kebebasan agama.
2. Persaudaran seagama dan keharusan untuk menanamkan sikap solidaritas
yang
tinggi terhadap sesama.
3. Persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama.
4. Saling membantu dan semua orang punya kedudukan yang sama sebagai
anggota
masyarakat.
5. Persamaan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara.
6. Persamaan di depan hukum bagi setiap warga negara.
7. Penegakan hukum.
8. Memberlakukan hukum adat yang tetap berpedoman pada keadilan dan
kebenaran.
9. Perdamaian.
10. Pengakuan hak atas setiap orang/individu
Ciri – ciri masyarakat madani :
1. Free public
sphere
Yaitu adanya ruang publik yang bebas
dalam mengemukakan pendapat. Individu
dapat mengemukakan pendapat tanpa
kekhawatiran
2. Demokratis
Yaitu
dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki keebasan penuh untuk
menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam interaksi dengan lingkungannya
tanpa mempertimbangkan suku, ras, dan agama
3. Toleran
Yaitu
adanya sikap saling menghargai dan saling menghormati aktivitas yang dilakukan
oleh orang lain, menghargai perbedaa-perbedaan pandangan politik maupun
perbedaan sikap social
4. Pluralisme
Yaitu
adanya sikap tulus untuk menerima kemajemukan, menghargai perbedaan
5. Keadilan social
Yaitu
adanya keseimbangan pembagian hak dan kewajiban setiap warga negara yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak ada monopoli dan
pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat
Pendapat
Nurcholis Madjid
Menurutnya
ada beberapa ciri mendasar dari masyarakat madani yan dibangun Nabi Muhammad
SAW :
1.
Egalitarianisme
(persamaan derajat)
2.
Penghargaan
kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan
sebagainya)
3.
Keterbukaan
partisipasi seluruh anggota masyarakat
4.
Penegakkan hukum
dan keadilan
5.
Toleransi dan
keadilan
6.
Musyawarah
F.
Institusi
penegak masyarakat madani
Institusi
(lembaga) masyarakat madani adalah institusi (lembaga) yang dibentuk atas
dasar motivasi dan kesadaran penuh dari
diri individu kelompok, dan masyarakat tanpa ada instruksi
(perintah), baik yang bersifat resmi (formal) dari pemerintah (negara) maupun
dari individu, kelompok, dan masyarakat tertentu.
Landasan
pembentukan lembaga ini adalah idealisme perubahan ke arah kehidupan yang
independent dan mandiri. Artinya, bahwa lembaga ini merupakan manifestasi
(perwujudan) dari pemberdayaan masyarakat yang memiliki pengetahuan, kesadaran,
disiplin, dan kedewasaan berpikir, yang bertujuan memberi perlindungan bagi
diri, kelompok, masyarakat, dan bangsa yang tidak berdaya dari penguasaan
(dominasi) pemerintah atau negara.
Sifat atau karakteristik lembaga (institusi)
masyarakat madani adalah :
1.
Independen adalah
bahwa lembaga ini
memiliki sifat yang
bebas (netral) dari intervensi lembaga lain, baik lembaga
pemerintah maupun nonpemerintah.
2.
Mandiri,
yaitu bahwa lembaga ini memiliki kemampuan dan kekuatan untuk melaksanakan
tugas dan fungsi lembaga, dengan tidak melibatkan pihak lain di luar institusi.
3. Swaorganisasi, yaitu
bahwa pengelolaan dan
pengendalian institusi (lembaga)
dilakukan
secara swadaya oleh SDM lembaga.
4. Transparan, yaitu bahwa dalam pengelolaan
dan pengendalian institusi (lembaga)
dilakukan
secara terbuka.
5.
Idealis, yaitu bahwa pengelolaan dan
pengendalian, serta pelaksanaan
institusi (lembaga) diselenggarakan dengan nilai-nilai yang jujur,
ikhlas, dan ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat banyak.
6.
Demokratis, yaitu institusi (lembaga) yang dibentuk, dikelola, serta
dikendalikan dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri.
7.
Disiplin, yaitu bahwa institusi (lembaga) dalam menjalankan tugas dan
fungsinya harus taat dan setia terhadap segenap peraturan perundangan yang
berlaku.
Bentuk institusi (lembaga) masyarakat madani dapat
diklasifikasi dalam tiga macam, yaitu :
1.
Institusi (lembaga) Sosial, seperti :
a. Lembaga sosial
b. Masyarakat (LSM) dan partai politik
c. Organisasi kepemudaan, seperti KNPI, HMI,
PMII, KAMMI
d. Organisasi kemahasiswaan
e. Organisasi profesi, seperti LBH, IAI, PWI,
HTI
f. Organisasi
kemasyarakatan, seperti MKGR, Kosgoro, SOKSI, dan lainlain
2.
Institusi (lembaga) Keagamaan
Institusi ini adalah institusi (lembaga)
yang dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat, untuk melakukan pengelolaan dan
pengendalian programprogram bagi pengembangan keagamaan.
Bentuk institusi ini meliputi, antara
lain :
a.
Institusi (lembaga) keagamaan
dalam Islam, seperti
NU, Muhammadiyah, MUI, dan
lain-lain
b.
Institusi (lembaga) keagamaan Kristen, seperti PGI
c.
Institusi (lembaga) keagamaan Budha, seperti Walubi
d.
Institusi (lembaga) keagamaan Hindu, seperti Parisada Hindu Darma.
e.
Institusi (lembaga) Katholik, seperti KWI
3. Institusi (lembaga) Paguyuban
Institusi ini adalah institusi (lembaga)
yang dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat untuk melakukan pengelolaan dan
pengendalian programprogram bagi peningkatan kekerabatan/kekeluarganaan, yang
berdasarkan daerah atau suku bangsa
yang
sama. Bentuk institusi
ini meliputi, antara
lain; himpunan paguyuban masyarakat Jember, Batak Karo,
Sulawesi, Puwokerta, Bima, Wonogiri, Sunda, Betawi, dan lain-lain.
4. Pers
Pers
dapat mengkritisi dan menjadi bagian social control yang dapat menganalisis
serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga
Negara
5.
Supremasi hokum
Setiap
warga anegara baik yang duduk dalam pemerintahan maupun sebagai rakyat harus
tunduk pada hukum. Penega- kan hak dan kebebasan antarwarga negara,warga negara
dengan pemerintah, dilakukan dengan cara damai sesuai dengan hukum yang berlaku
6.Perguruan tinggi
Perguruan Tinggi mengkritisi kebijakan pemerintah.
Peran Perguruan tinggi untuk
mewujudkan masyarakat madani, menurut Riswanda Imawan
:
·
Pemihakan yang
tegas pada prinsip egalitarianisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang
demokratis
·
Membangun
political safety net, yakni dengan mengembangkan dan mempublikasikan informasi
secara objektif
·
Melakukan
tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara yang santun, saling menghormati,
demokratis
7. Partai politik
Partai Politik merupakan
wahana menyalurkan aspirasi politik
G. Kondisi-kondisi
kondusif yang perlu diciptakan untuk terwujudnya masyarakat madani diantaranya adalah sebagai berikut :
·
Deregulasi
ekonomi yang mengarah pada penghapusan terutama hak-hak seperti kartel,
monopoli,dominasi,sistem koneksi atas prestasi ekonomi
·
Keterbukaan
politik meskipun harus dilakukan dalam konteks tahap tertentu sesuai
perkembangan ekonomi berkelanjutan, untuk mendorong terjadinya demokratisasi
·
Perwujudan
negara hukum secara efektif, termasuk jaminan hak asasi manusia
H. Peran Umat Islam
Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani.
Hal ini berkaitan dengan kondisi 2 hal,
yaitu:
a. Kualitas Sumber
Daya Umat Islam
· Sebenarnya
Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah sebagai umat yang terbaik (khoiro ummah)
· Namun
demikian keunggulan Umat Islam tersebut adalah bersifat normatif potensial,
bukan riil pasti. Dalam
sejarah Islam keunggulan pernah
terjadi pada masa Bani
Abbasyiyah, kemudian pada pertengahan abad 13 mengalami kemunduran lagi, dan sampai sekarang masih
tertinggal, sehingga
sangat memerlukan kesadaran dan semangat umat Islam
untuk bangkit dan maju kembali
b. Posisi Umat Islam
·
Saat ini masih belum
menunjukkan kualitasnya yang unggul/masih rendah padahal jumlah dan potensi
alamnya sangat mendukung.
·
Eksploitasi alamnya banyak
dilakukan oleh kalangan non Islam, sehingga keuntungan besar diperoleh mereka.
·
Sistem sosial, politik,
budaya, ekonominya masih belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan sebagian
tokoh-tokohnya belum mencerminkan akhlak Islam.
I.
Kelebihan Dan Kelemahan Konsep Masyarakat Madani
Kelebihan konsep masyarakat
madani :
Beberapa
kelebihan menggunakan wacana civil society untuk melihat prospek demokrasi di
Indonesia adalah sebagai berikut:
Pertama,
sebagai kerangka analisis, wacana masyarakat madani mampu menjelaskan dan
membuka kesadaran tentang posisi saling berhadapan antara masyarakat dan
negara. Hal ini penting, sebab selama ini tercipta satu persepsi umum di
kalangan masyarakat, khususnya masyarakat awam, bahwa antara negara dan masyar
akat adalah satu kesatuan yang manunggal. Upaya pemerintah melakukan hegemoni
--baik melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)
maupun melalui pelajaran di tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi,
seperti PMP (Pendidikan moral Pancasila), PSPB (Pendidikan Sejarah dan
Perjuangan Bangsa) dan semacamnya--tampak berhasil membangun persepsi di
kalangan masyarakat untuk menempatkan dirinya menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari negara.
Konsekuensi
dari cara pandang semacam itu adalah, pemerintah atau penguasa diasumsikan
sebagai suatu, atau bahkan satu-satunya lembaga yang dapat merumuskan dan
mendefinisikan kepentingan dan tujuan bersama. Kepentingan dan nilai yang
diperjuangkan oleh negara dipahami sebagai kepentingan dan nilai-nilai
masyarakat. Dengan demikian, perlawanan terhadap kepentingan dan nilai yang diperjuangkan
negara dianggap tak mempunyai landasan moral, karena berarti melawan terhadap
kepentingan dan nilai-nilai umum masyarakat itu sendiri.
Wacana masyarakat madani dapat menggugah kesadaran
pada banyak pihak bahwa, antara Negara dan masyarakat sebenarnya tidak harus
dipandang sebagai satu kesatuan. Masing-masing dapat dipahami sebagai dua
entitas yang saling berhadapan: mempunya aspirasi, kepentingan dan tujuan yang
mungkin tak selalu sama. Karena itu, adalah suatu kewajaran jika antara
masyarakat dan Negara saling berkonflik untuk memperebutkan atau memperjuangkan
sesuatu yang sama maupun berbeda. Kedua, wacana masyarakat madani dapat
mengilhami sekaligus menjelaskan munculnya gerakan-gerakan pro demokrasi di
Indonesia.
Keberhasilan
gerakan civil society di beberapa negara Eropa Timur dan Tengah dalam menu
mbangkan rejim totaliter atau otoriter dan menciptakan negara demokrasi dapat
dijadikan pelajaran berharga untuk melihat peran yang sama di negara-negara
totaliter atau otoriter yang lain. Wacana masyarakat madani dijadikan sebagai
kerangka analisis untuk menjelaskan proses transformasi menuju demokrasi di
banyak negara. Dari pengalaman Eropa Timur dan Tengah menunjukkan, bahwa
munculnya gerakan masyarakat madani diawali oleh ketidakmampuan rejim totaliter
di kawasan tersebut untuk memenuhi janji-janjinya sendiri dalam menciptakan
kesejahteraan dan keadilan sosial. Di negara-negara ini, sistem totaliter di
bawah rejim komunis dihadapkan dengan kekuatan demokratis dalam masyarakat
madani yang bertujuan
(a) membebaskan individu dari cengkeraman penguasa
(b) memulihkan kemandirian individu sebagai warga
Negara
(c) menuntut jaminan hak-hak asasi manusia, kebebasan
berbicara dan menyatakan
pendapat, serta keadilan yang merata di
seluruh bidang kehidupan, baik sosial,
ekonomi
maupun politik.
Fenomena
tersebut menimbulkan revolusi harapan di seba gian masyarakat Indonesia, yang
merasa tinggal di suatu negara yang mempunyai persamaan dengan negara- negara
di Eropa Timur dan Tengah, yakni kuatnya peranan negara. Termasuk juga,
persamaan kuatnya peran negara antara Indonesia dan beberapa negara Amerika
Latin yang mengalami proses transformasi demokrasi melalui civil society .
Dengan demikian, harapan yang patut diajukan adalah: tidakkah akan muncul
fenomena yang sama, yaitu penguatan masyarakat madani dan proses demokratisasi
di Indonesia sebagaimana yang pernah terjadi di beberapa negara di mana
intervensi negara dalam kehidupan masyarakat cukup kuat? Revolusi harapan
inilah yang mengilhami munculnya gerakan prodemokrasi di Indonesia.
Ketiga,
wacana masyarakat madani dapat membantu mengidentifikasi kelompok- kelompok
strategis yang mempunyai kemungkinan besar tampil sebagai agen demokrasi.
Artinya, pengalaman kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat madani di
beberapa Negara yang mengalami transformasi demokrasi melalui civil society
dapat dijadikan sebagai barometer untuk melihat peran yang sama yang dimainkan
oleh kelompok-kelompok tersebut di negara-negara lain. Di beberapa negara ini,
kelompok seperti buruh, petani, cendekiawan, gereja, partai politik dan
semacamnya, mempunyai peran yang cukup menentukan dalam proses transformasi
demokrasi. Wacana demikian itu dapat dijadikan pijakan untuk mengidentifikasi
kelompok-kelompok strategis yang dapat dijadikan sebagai agen demokratisasi di
Indonesia.
Tentu
saja, relevansi wacana tersebut tidak hanya sebatas sebagai sarana untuk
mengidentifikasikan kelompok prodemokrasi. Lebih dari itu, identifikasi
kelompok strategis ini dapat dijadikan oleh para "penggerak"
demokrasi di Indonesia sebagai "ladang garapan". Artinya,
kelompok-kelompok masyarakat madani seperti buruh, petani, cendekiawan, gereja
dan sebagainya, yang di beberapa Negara lain berhasil melakukan gerakan
transformasi demokrasi dijadikan sebagai dasar untuk membangun penguatan
masyarakat madani dan agen demokratisasi di Indonesia.
Keempat, diskursus itu dapat dijadikan sebagai
pelajaran untuk merumuskan strategi perjuangan masyarakat madani dalam rangka
proses demokratisasi di Indonesia.
Berbagai strategi transformasi demokrasi di berbagai
negara dapat dievaluasi yang kemudian diseleksi yang paling cocok untuk kasus
Indonesia. Mempelajari strategi transformasi demikian itu penting karena tak
semua masyarakat madani beserta kelompok-kelompok di dalamnya di berbagai
negara yang telah mengalami transformasi demokrasi itu menggunakan strategi
yang sama. Gerakan prodemokratisasi di Indonesia dapat mengadopsi berbagai
strategi yang pernah dilakukan di negara lain sesuai dengan kondisi Indonesia.
Namun,
pemilihan strategi untuk mencapai tujuan di atas haruslah dilakukan secara
tepat, sehingga tidak sama dengan cara yang ditempuh oleh rejim otoriter yang
ditentangnya. Strategi yang dilakukan--apakah strategi gerakan sosial melalui
mobilisasi massa secara besar-besaran, protes dan pemogokan kaum buruh, petani
dan sebagainya, atau melalui strategi gerakan kultural lewat film, diskusi
kebudayaan, dan karya-karya sastra--haruslah bertumpu pada landasan moral, atau
didasarkan pada semangat etis dan tanggung jawab sosial. Strategi gerakan
masyarakat madani semacam itu--seperti yang terjadi di Cekoslowakia dan
Polandia-- ternyata berhasil menciptakan jaringan yang sangat luas, meliputi
lembaga-lembaga agama, kelas pekerja, petani, cendekiawan dan sebagainya.
Kelemahan-Kelemahan
Konsep Masyarakat Madani
Sementara
itu, beberapa kelemahan wacana atau konsep masyar akat madani jika digunakan
untuk me nganalisis prospek demokrasi di Indonesia adalah sebagai berikut.
Pertama,
konsep masyarakat madani dibangun dari budaya Barat (Eropa), sehingga dalam
beberapa hal mengalami benturan jika digunakan untuk menganalisis kasus
Indonesia, termasuk juga terhadap kasus di beberapa Negara Asia yang lain. Karena
itu, menggunakan konsep masyarakat madani dalam memahami proses demokratisasi
di Indonesia harus hati-hati. Masyarakat madani adalah konsep yang lahir dari
sejarah dan "mimpi" Barat. Ia muncul bersama proses modernisasi,
terutama pada saat terjadi transformasi masyarakat feodal agraris menuju
masyarakat industrial kapitalis. Sebagai gagasan, ia lahir sebagai anak kandung
periode Pencerahan yang mengantarkan sekularisme sebagai pengganti agama.
Karena itu, masyarakat madani di Barat dan Timur mempunyai fundasi historis
yang berbeda, sehingga penggunaan konsepnya harus memperhatikan kondisi yang
berbeda tersebut (Mardin, 1995: 278- 300).
Di
samping itu, menempatkan demokrasi sebagai satu-satunya arah yang hendak dituju
oleh perjuangan masyarakat madani di Indonesia tampaknya juga harus hati- hati.
Mungkin tak semua perjuangan civil society di Indonesia menghendaki arah demokrasi
liberal sebagaimana yang terjadi di beberapa negara Eropa Timur dan Tengah.
Masih ada sebagian kelompok yang menghendaki demokrasi pancasila. Selain itu,
di dalam demokrasi sendiri ternyata menyimpan banyak keterbatasan. Salah
satunya adalah ketidakmampuan para kampiun demokrasi menerapkan nilai-nilai
demokrasi secara universal. Misalnya, sering terdengarnya ketidakadilan di
Amerika Serikat terhadap warga kulit hitam, juga perlakuan tak adil di
Australia terhadap suku aborigin dan sebagainya.
Bahkan, beberapa Negara menggunakan standar ganda
dalam menerapkannya. Perancis misalnya, perilaku demokratisnya hanya di
negaranya, sementara perilaku yang sama tidak ditunjukkan di Aljazair (Hamdi,
1996). Berbagai keterbatasan itu tampaknya mempengaruhi sebagian kelompok
masyarakat madani di Indonesia untuk mempertanyakan demokrasi macam apa yang
hendak dituju.
Kedua,
wacana tersebut ternyata tidak seluruhnya berisi cerita-cerita sukses
transformasi demokrasi, namun juga cerita minor. Konflik etnis dan agama yang
begitu menguat di beberapa daerah bekas Yugoslavia merupakan salah satu
contohnya. Pertikaian segitiga antar suku, ras dan agama antara Kroasia, Serbia
dan Bosnia, seakan membenarkan tesis Hegel, yaitu bahwa masyarakat madani
adalah suatu entitas yang cenderung menghancurkan dirinya sendiri, sehingga
diperlukan intervensi negara.
Kenyataan
ini setidaknya dapat meragukan optimisme Fukuyama, sebab kebangkitan demokrasi
liberal di berbagai negara setelah perang dingin justru menimbulkan semangat
nasionalisme kesukuan dan keagamaan ( ethnoreligious ). Inilah mungkin, letak
relevansi tesis Hall bahwa nasionalisme merupakan salah satu musuh ( enemy )
masyarakat madani (Hall, 1995:12-4). Kasus-kasus khusus di atas membawa pada
satu kesimpu lan penting, bahwa gerakan masyarakat madani di Eropa Timur dan
Tengah ternyata tidak seluruhnya mengh asilkan demokrasi. Artinya, jalan menuju
demokrasi melalui masyarakat madani ternyata tidak semulus yang dibayangkan
banyak orang, termasuk oleh pendukung gerakan civil society itu sendiri.
Kenyataan itu meragukan sebagian kalangan di Indonesia, apakah penguatan
masyarakat madani yang bisa berimplikasi pada penguatan perasaan kesukuan dan
keagamaan merupakan satu- satunya cara yang paling tepat untuk menuju demokrasi
di Indonesia.
Ketiga,
dari segi tradisi ketatanegaraan di Indonesia, setidaknya pada masa Orde Baru
yang baru lalu, penempatan masyarakat dan negara pada posisi yang berhadapan
kurang mempunyai landasan normatif/hukum, setidaknya menurut interpretasi
penguasa. Para pemegang kekuasaan meyakini bahwa antara negara dan masyarakat
adalah tidak bisa diposisikan saling bertentangan. Dalam tradisi konsep
kekuasaan Jawa disebut sebagai " manunggaling kawula gusti "
(menyatunya rakyat dan penguasa).
Dalam
praktek kenegaraan modern, hal ini dimanifestasikan dalam faham kenegaraan yang
oleh Soepomo disebut negara integralistik, di mana kedaulatan negara pada
taraf-taraf tertentu dapat mengatasi kedaulatan rakyat. Perdebatan tentang
faham negara Integralistik dan kritik terhadapnya. Keempat, komponen-komponen
masyarakat madani sebagai prasyarat tegaknya demokrasi modern di Indonesia
sangat sulit terpenuhi.
Di
Indonesia, baik individu maupun kelompok, sangat sulit memiliki otonomi yang
kuat dihadapan negara, karena sistem perwakilan kepentingan di Indonesia
menggunakan sistem korporatisme negara. Demikian juga komponen adanya ruang
publik yang relatif bebas dari intervensi negara. Berbagai ruang publik yang
ada seperti pers misalnya, tidak bebas dalam menjalankan perannya karena
kontrol yang cukup ketat dari negara melalui lembaga SIUP (Surat Ijin Usaha
Penerbitan). Karena itu, akses masyarakat terhadap kedua komponen tersebut juga
sangat lemah. Intervensi negara cukup kuat, baik pada berfungsinya
lembaga-lembaga tersebut maupun pada masyarakat.
J. Menjadi Masyarakat Madani Indonesia
Indonesia, pada masa
reformsai ini, membutuhkan tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani. Kondisi Indoneia yang dilanda
euphoria
demokrasi, semangat otonomi daerah, dan derasnya
globalisasi membutuhkan
masyarakat yang mempunyai kemauan dan kemampuan hidup bersama dalam sikap saling menghargai, toleransi, dalam
kemajemukan
yang
tidak
saling
mengeklusifkan
terhadap berbagai suku, agama, bahasa, dan
adat yang berbeda. Kepedulian, kesantunan, dan setia kawan
merupakan sikap yang sekaligus
menjadi prasaran yang
diperlukan bangsa Indonesia.
Pengembangan masyarakat madani
di
Indonesia tidak bisa
dipisahkan dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri. Kebudayaan, adat istiadat, pandangan
hidup, kebiasaan, rasa sepenanggungan, cita-cita dan hasrat bersama sebagai warga
dan
sebagai
bangsa, tidak mungkin lepas dari lingkungan serta sejarahnya. Linkungan dan akar sejarah kita, warga dan bangsa
Indonesia, sudah diketahui baik kekurangan maupun kelemahan, juga
diketahui kelebihan
dan keunggulannya.
Di antara keunggulan bangsa Indonesia, adalah berhasilnya proses akulturasi dan inkulturasi yang kritis dan
konstruktif. Pada saat ini, ada pertimbangan lain
mengapa pengembangan
masyarakat madani harus
secara khusus kita beri perhatian. Kita hidup dalam zaman, di mana interaksi tidak saja berlangsung secara domestic dan regional, tetapi sekaligus secara global. Dari idiom yang kita
pakai, kemauan dan kemampuan kita untuk adaptasi, akulturasi, dan inkulturasi, lebih-lebih lagi sangat kita perlukan dalam masa reformasi menuju
demokratisasi dewasa ini.
Hidayat Nur
Wahid mencirikan masyarakat
madani sebagai masyarakat yang
memegang teguh ideology yang
benar, berakhlak mulia,
secara politikekonomi- budaya bersifat mandiri, serta memiliki pemerintahan sipil. Sedangkan menurut Hikam,
ciri-
ciri masyarakat madani
adalah: (a) adanya kemandirian yang cukup tinggi di antara
individu-individu dan kelompok-kelompok
masyarakat terhadap negara, (b) adanya kebebasan
menentukan wacana dan
praktik politik di tingkat publik, dan (c) kemampuan membatasi kekuasaan negara untuk tidak melakukan intervensi.
Untuk
membangun masyarakat madani
di Indonesia, ada
enam
factor yang harus diperhatikan,
yaitu :
1. Adanya perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pandapatan masyarakat,
dan
dapat mendukung
kegiatan pemerintahan.
2. Tumbuhnya intelektualitas dalam rangka membangun manusia yang memiliki komitmen untuk independent.
3.
Terjadinya persegeran budaya dari masyarakat yang berbudaya paternalistic
menjadi
budaya yang lebih modern dan lebih independent.
4. Berkembangnya pluralisme dalam kehidupan yang
beragam
5.
Adanya partisipasi aktif dalam menciptakan tata pamong
yang baik
6.
Adanya keimanan dan
ketakwaan kepada
Tuhan
yang
melandasi moral
K. Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani
Pendidikan Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam
berbagai aspek. Upaya
perbaikannya belum dilakukan
secara mendasar, sehingga terkesan
seadanya saja ....Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara
mendasar, selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana
sampai tenaga ahli. Padahal pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja
terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas [Muslih Usa,
1991:11-13]. Berdasarkan uraian ini,
ada dua alasan
pokok mengapa konsep pembaharuan
pendidikan Islam di Indonesia untuk menuju masyarakat madani sangat mendesak.
[a] konsep dan praktek pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit, artinya
terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan
pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran
kembali konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang
manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani. [b] lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang dimiliki sekarang ini,
belum atau kurang mampu memenuhi
kebutuhan umat Islam dalam
menghadapi tantangan dunia
modern dan tantangan masyarakat dan bangsa
Indonesia disegala bidang.
Maka, untuk menghadapi dan menuju masyarakat madani
diperlukan konsep pendidikan Islam serta peran sertanya secara mendasar dalam
memberdayakan umat Islam,
Suatu usaha pembaharuan pendidikan hanya bisa terarah dengan mantap
apabila didasarkan pada
konsep dasar filsafat
dan teori pendidikan
yang mantap. Filsafat pendidikan
yang mantap hanya dapat dikembangkan di atas dasar asumsi- asumsi dasar yang
kokoh dan jelas tentang manusia [hakekat] kejadiannya, potensi- potensi
bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagi individu maupun
sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta
dan
akhiratnya hubungan dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan yang mantap
hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan
filsafat dan pendekatan emperis [Anwar Jasin, 1985:8], Sehubungan dengan itu,
konsep dasar pembaharuan
pendidikan Islam adalah
perumusan konsep filsafat
dan teoritis pendidikan yang
didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan hubungannya dengan
lingkungan dan menurut ajaran Islam.
Maka, dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam perlu dirumuskan secara
jelas implikasi ayat-ayat al-Qur'an dan hadits yang menyangkut dengan "fitrah"
atau potensi bawaan, misi dan tujuan hidup manusia. Karena rumusan tersebut
akan menjadi
konsep dasar filsafat pendidikan Islam. Untuk itu, filsafat atau segala
asumsi dasar pendidikan Islam hanya dapat diterapkan secara baik jikalau
kondisi-kondisi lingkungan ( sosial -
kultural ) diperhatikan. Jadi, apabila
kita ingin mengadakan perubahan pendidikan Islam maka
langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan konsep dasar filosofis
pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam,
mengembangkan secara empris prinsip-prinsip yang mendasari
keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan [sosial – cultural] yang
dalam hal ini adalah masyarakat madani. Jadi,
tanpa kerangka dasar filosofis dan teoritis yang kuta, maka perubahan
pendidikan Islam tidak punya pondasi
yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti [Rangkuman dari Anwar
Jasin, 1985:8 –9].
Konsep dasar filsafat dan teoritis pendidikan Islam, harus ditempatkan
dalam konteks supra sistem masyarakat madani di
mana pendidikan itu akan diterapkan. Apabila terlepas dari konteks
"masyarakat madani", maka pendidikan menjadi tidak relevan dengan
kebutuhan umat Islam pada kondisi masyarakat tersebut [masyarakat madani].
Jadi, kebutuhan umat yang amat mendesak sekarang ini adalah mewujudkan dan
meningkatan kualitas manusia Muslim menuju masyarakat madani. Untuk itu umat
Islam di Indonesia dipersiapkan dan harus dibebaskan dari ketidaktahuannya [ignorance] akan
kedudukan dan peranannya dalam kehidupan "masyarakat madani" dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Islam haruslah dapat
meningkatkan mutu umatnya dalam menuju "masyarakat madani". Kalau
tidak umat Islam akan ketinggalan dalam kehidupan "masyarakat madani"
yaitu masyarakat ideal yang
dicita-citakan bangsa ini. Maka tantangan utama yang
dihadapi umat Islam sekarang
adalah peningkatan mutu sumber insaninya dalam menempatkan diri dan memainkan
perannya dalam komunitas masyarakat madani dengan menguasai ilmu dan teknologi
yang berkembang semakin pesat. Karena, hanya mereka yang menguasai ilmu dan
teknologi modern dapat mengolah kekayaan alam yang telah diciptakan Allah untuk
manusia dan diamanatkan-Nya kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini
untuk diolah bagi kesejahteraan umat manusia.
Maka masyarakat madani yang diprediski memiliki ciri;Universalitas,Supermasi, Keabadian,
Pemerataan kekuatan, Kebaikan
dari dan untuk
bersama, Meraih kebajikan umum, Perimbangan kebijakan umum, Piranti
eksternal, Bukan berinteraksi pada keuntungan, dan Kesempatan yang sama dan
merata kepada setiap warganya. Atas dasar konsep ini, maka konsep filsafat dan teoritis
pendidikan Islam dikembangkan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari
keterlaksanaannya dalam kontek lingkungan masyarakat madani tersebut, sehingga
pendidikan relevan dengan kondisi dan ciri sosial kultural masyarakat tersebut.
Maka, untuk mengantisipasi perubahan menuju "masyarakat madani",
pendidikan Islam harus didisain untuk menjawab perubahan tersebut. Oleh karena
itu, usulan perubahan sebagai berikut : [a] pendidikan harus menuju pada
integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang
pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama, karena, dalam pandangan seorang
muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT, [b]
pendidikan menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang
dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat
dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang
diyakini, (c) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan
mandiri dalam kehidupan, [d] pendidikan yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai
aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur [Suroyo, 1991:45-48], (e) pendidikan
Islam harus didisain untuk mampu menjawab tantangan masyarakat madani.
Dalam konteks ini juga perlu pemikiran kembali tujuan
dan fungsi lembaga- lembaga pendidikan [Anwar Jasin, 1985:15] Islam yang ada.
Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini
cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan
untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu
umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian
tersebut lebih merupakan peniruan dengan tabal sulam atau dengan kata lain
mengadopsi model yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum,
artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang dapat dilakukan oleh
lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga
pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan
cukup berat dan bahkan terjadi tumpang tindih.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam mengambil secara utuh
semua kurikulum [non-agama] dari kurikulum sekolah umum, kemudian tetap
mempertahankan sejumlah program pendidikan agama, sehingga banyak bahan
pelajaran yang tidak dapat dicerna oleh peserta didik secara baik, sehingga
produknya [hasilnya] serba setengah-tengah atau tanggung baik pada ilmu-ilmu
umum maupun pada ilmu-ilmu agama. Untuk itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam
sebenarnya mulai memikirkan kembali disain program pendidikan untuk menuju
masyarakat madani, dengan memperhatikan relevansinya dengan bentuk atau kondisi
serta ciri masyarakat madani. Maka untuk menuju "masyarakat madani",
lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi yaitu
apakah mendisain model pendidikan umum
Islami yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif dengan lembaga
pendidikan umum atau mengkhususkan pada disain pendidiank keagamaan yang handal
dan mampu bersaing secara kompotetif, misalnya mempersiapkan ulama-ulama dan
mujtahid-mujtahid yang berkaliber nasional dan dunia.
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulakn sebagai
berikut :
1. Menyarakat madani
merupakan suatu wujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan
ciri: universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari
dan untuk bersama, meraih kebajikan umum, piranti eksternal, bukan
berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap
warganya. ciri masyarakat ini merupakan masyarakat yang ideal dalam kehidupan.
Untuk Pemerintah pada era reformasi ini, akan mengarakan semua potensi bangsa
berupa pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, militer, kerah
masyarakat madani yang dicita- citakan.
2. Konsep dasar pembaharuan pendidikan harus
didasarkan pada asumsi- asumsi dasar tentang manusia meenurut aajaran Islam,
filsafat dan teori pendidikan Islam yang dijabarkan dan dikembangkan
berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia dan
lingkungannya. Atau dengan
kata lain pembaharuan
pendidikan Islam adalah filsafat dan teori pendidikan Islam
yang sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk lingkungan (sosial- kultural) yang
dalam hal ini adalah masyarakat madani.
3. Konsep dasar pendidikan
Islam supaya relevan dengan kepentingan umat Islam dan relevan dengan disain
masyarakat madani. Maka penerapan konsep dasar filsafat dan teori pendidikan
harus memperhatikan konteks supra sistem bagi kepentingan komunitas
"masyarakat madani" yang dicita-citakan bangsa ini.
Penciptaan tatanan kehidupan masyarakat madani salah
satunya adalah melalui penegakan kehidupan demokrasi. Wawasan dasar Islam
tentang prinsip-prinsip demokrasi seperti keadilan, persamaan, kebebasan dan
musyawarah, demikian juga dengan sikap pluralisme, toleransi dan pengakuan
hak-hak asasi manusia telah berfungsi dengan baik selama masa Nabi dan Khulafa’
al-Rasyidin dalam kehidupan sosial politik, yang oleh kalangan intelektual
Muslim direfleksikan sebagai tatanan masyarakat madani. Kondisi internal ummat
setelah periode Khulafa’ al-Rasyidin yang tidak lagi kondusif bagi munculnya
tatanan kehidupan politik yang demokratis, menyebabkan prinsip-prinsip dasar
Islam mengenai demokrasi tidak bisa diformulasikan ke dalam lembaga politik
yang mapan. Akibatnya, perbedaan antara teori (wawasan islam tentang demokrasi)
dan praktik kehidupan politik terlihat sangat jauh; menjadikan ummat Islam
terkesan asing dengan simbol-simbol demokrasi yang berkembang. Keterasingan
simbol itulah yang barang kali menjadikan orang berusaha untuk mengimbanginya
dengan merumuskan kembali tatanan kehidupan yang ada pada “masyarakat madani”.
3.2 SARAN
Dalam perkembangan zaman yang semakin maju yang
diikuti oleh gempuran dari adanya globalisasi, maka masyarakat madani akan
menjadi suatu tatanan masyarakat yang paling ideal yang dapat diterapkan pada
saat ini. Namun untuk mewujudkan masyarakat madani seperti yang kita harapkan,
sangat diperlukan adanya kerjasama dari berbagai pihak yang saling terkait,
sehingga akan tercipta masyarakat yang ideal, demokratis, dan sejahtera seperti
yang dicita citakan oleh semua bangsa dan Negara di belahan dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. 1999. Islam dan Masyarakat
madani. Kompas Online. 27 Februari
1999.
Abdurrahman, Moeslim.
1999. Peran Masyarakat Akademis sebagai
Bagian Masyarakat madani. Kompas Online.
29 dan 30 April 1999 .
Ahmadi, H. 2000.
Reformasi Sistem Pendidikan Islam dan Era Reformasi: Telaah Filsafat
Pendidikan. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Azizi, A Qodri Abdillah.
2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam
Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan
Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
0 komentar:
Posting Komentar